SALAM PEMASYARAKATAN

Jumat, 20 Agustus 2010

Cetak Biru Pemasyarakatan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesenjangan antara gagasan serta konsep-konsep ideal sistem pemasyarakatan yang berkembang,
rumusan-rumusan normatif yang telah diatur dalam berbagai ketentuan peraturan perundangan maupun
aturan teknis-pelaksanaan dengan realitas pelaksanaan misi pemasyarakatan menjadi suatu
permasalahan yang penting untuk diketengahkan dalam ranah kebijakan pembaruan hukum nasional
saat ini. Menempatkan posisi sistem pemasyarakatan diranah strategis pembaruan hukum nasional,
kenyataannya memang belum mendapatkan perhatian secara memadai. Mengupayakan pembaruan
pelaksanaan sistem pemasyarakatan dalam kerangka pembaruan hukum nasional secara menyeluruh,
diperlukan suatu dokumen posisi yang menguraikan secara kritis, mendetail, dan tuntas atas
permasalahan-permasalahan yang dihadapi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan baik dalam konteks
internal kelembagaan maupun faktor-faktor eksternal yang secara timbal balik berpengaruh terhadap
pelaksanaan misi dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Sejak awal disadari bahwa menempatkan sistem pemasyarakatan dalam kerangka pembaruan hukum
nasional merupakan suatu usaha bertahap dan dinamis. Berpangkal dari kesadaran tersebut, maka
penting diupayakan membangun suatu argumentasi yang didasarkan pada kondisi obyektif beserta
analisis secara holistik atas unsur-unsur yang mempengaruhi pelaksanaan tugas dan fungsi petugas
pemasyarakatan. Sehingga didapatkan suatu formula yang tepat untuk memecahkan permasalahan
yang terindikasi terjadi dalam bekerjanya sistem pemasyarakatan dengan langkah-langkah perubahan
yang jelas dan terukur. Dalam merangkum dan mengurai langkah-langkah pembaruan tersebut maka
disusunlah naskah Cetak Biru Pembaruan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan sebagai suatu dokumen
posisi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam menyikapi kondisi dan situasi sistem pemasyarakatan
yang berjalan sekarang ini serta rumusan-rumusan upaya perubahan kedepan.
Cetak Biru Pembaruan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan adalah dokumen yang menjabarkan
pemikiran, gagasan, dan aspirasi mengenai pembaruan dalam bekerjanya sistem pemasyarakatan yang
disusun atas dasar kondisi-kondisi obyektif sistem pemasyarakatan yang berjalan selama ini untuk
merumuskan suatu formula perbaikan/ perubahan yang meliputi rencana tindak yang terperinci,
konkrit, dan terukur yang diharapkan menjadi arahan bagi kebijakan dimasa mendatang.
B. Tujuan
Secara umum tujuan disusunnya naskah cetak biru adalah terumuskannya suatu dokumen yang lengkap
dan tuntas yang menjadi panduan bagi semua pihak dalam upaya meneguhkan posisi sistem
pemasyarakatan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya, serta dalam rangka pelaksanaan
penegakan hukum.
Secara khusus naskah cetak biru bertujuan untuk :
Pertama, memberikan gambaran mengenai kondisi obyektif saat ini sebagai sarana refleksi dan
evaluasi atas pelaksanaan sistem pemasyarakatan;
Kedua, merumuskan langkah-langkah strategis dimasa mendatang dalam kerangka melaksanakan misi
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk menjawab tantangan dan hambatan yang ada;
Ketiga, secara praktis naskah Cetak Biru Pembaruan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan merupakan
dokumen utama yang menjadi acuan dalam penyusunan Rencana Strategis Pembangunan Direktorat
Pemasyarakatan tahun 2010 – 2015.
C. Cakupan Penyusunan Cetak Biru
Cakupan dalam penyusunan cetak biru didasarkan pada aspek langkah-langkah penyusunan naskah dan
segi-segi pengelompokkan isu yang dimuat dalam cetak biru. Cakupan langkah-langkah dalam
penyusunan naskah cetak biru setidaknya terdiri dari empat ruang lingkup aktivitas yakni ;
Pertama, analisa terhadap berbagai faktor yang membentuk dan mempengaruhi lingkungan dimana
sistem pemasyarakatan berada dan bekerja;
Kedua, mengidentifikasi hambatan-hambatan utama dalam bekerjanya sistem Pemasyarakatan;
Ketiga, merumuskan pilihan-pilihan strategi untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam bekerjanya
sistem pemasyarakatan; dan
Keempat, menyusun suatu rencana tindak dalam suatu kategori-kategori prioritas aksi serta
mengembangkan langkah-langkah konkrit untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut dalam jangka
pendek dan menengah.
Sedangkan cakupan isu yang dimuat dalam naskah cetak biru, secara garis besar menjangkau ranah
internal organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan secara khusus serta instansi-instansi lain yang
terkait didalam lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jangkauan pembahasan pada
ranah internal ini mencakup analisa terhadap berjalannya organisasi dan tata kerja dalam mengemban
tugas pokok dan fungsi pemasyarakatan dan kendala-kendala yang ada untuk melaksanakan misi
pemasyarakatan.
Ranah lain yang menjadi jangkauan dari pembahasan naskah cetak biru ini adalah menyangkut
hubungan Pemasyarakatan dengan sistem peradilan pidana yang saat ini berjalan dalam penegakan
hukum di Indonesia. Cakupan substansi yang dibahas dalam ranah hubungan Pemasyarakatan dengan
sistem peradilan pidana adalah didasarkan pada satu konsepsi sistem yang didalamnya terdapat
kompleksitas dinamika dan interaksi diantara institusi penegak hukum sebagai satu kesatuan hubungan
dimana satu sama lainnya saling bergantung.
Pokok-pokok bahasan yang dicakup dalam naskah cetak biru adalah :
ü Sistem Pemasyarakatan di Indonesia
ü Hubungan dan Posisi Sistem Pemasyarakatan dengan Lembaga Penegak Hukum Lainnya dalam
Sitem Peradilan Pidaan Terpadu
ü Tinjauan manajemen Organisasi
ü Sumber Daya Manusia
ü Perencanaan dan Penganggaran
ü Pola Pelayanan, pembinaan, Pembimbingan, dan Pengelolaan
ü Pengawasan dan Partisipasi Publik
D. Alur Penyusunan Cetak Biru
Rancangan disain program penyusunan cetak biru terdiri dari dua kegiatan pokok, yakni penelitian dan
penyusunan naskah cetak biru. Dua kegiatan tersebut secara programatik merupakan satu rangkaian
kegiatan. Hasil analisa dari penelitian yang dilakukan, akan menjadi bahan bahan utama dalam
penyusunan cetak biru. Untuk itu penyusunan disain penelitian, telah diarahkan untuk mengacu kepada
kerangka isu-isu krusial yang akan dimuat dalam naskah cetak biru.
Dalam penelitian setidaknya terdapat tiga tahapan dalam melakukan analisa dan pengambilan
kesimpulan yakni :
Pertama, kajian pustaka. Kajian pustaka ini dilakukan terhadap sejumlah penelitian yang telah
dihasilkan terkait dengan permasalahan yang dihadapi sistem pemasyarakatan. Selain melakukan
kajian pustaka terhadap penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, tim peneliti juga melakukan
pengkayaan referensi terkait khusunya dengan disiplin ilmu hukum, ilmu pemasyarakatan, kriminologi,
dan sosiologi. Analisis mengenai kerangka kerja hukum dan kebijakan juga dilakukan untuk
http://www.djpp.depkumham.go.id
memberikan ulasan atas kondisi normatif yang memiliki pengaruh terhadap performa pelaksanaan
tugas pokok dan fungsi petugas pemasyarakatan dan bekerjanya sistem pemasyarakatan.
Kedua, penelitian lapangan. Penelitian lapangan dirancang sebagai langkah-langkah konfirmasi atas
sejumlah temuan penelitian serta bacaan terhadap analisa kerangka hukum dan kebijakan. Hal lainnya
adalah dimaksudkan untuk menemukan aspek-aspek yang belum pernah dibahas oleh penelitianpenelitian
sebelumnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey dan observasi.
Survey dipilih sebagai alat untuk melakukan pemetaan permasalahan dalam pelaksanaan sistem
pemasyarakatan secara komprehensif. Observasi dan wawancara mendalam terhadap respondenresponden
terpilih bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam.
Ketiga, diskusi kelompok terfokus. Diskusi kelompok terfokus dilakukan dengan sejumlah pemangku
kepentingan dalam sistem pemasyarakatan baik dikalangan petugas pemasyarakatan maupun penegak
hukum lainnya serta kalangan masyarakat yang memiliki perhatian dan bekerja dalam bidang / isu
sistem pemasyarakatan. Terdapat empat tema sentral dalam diskusi kelompok terfokus yakni :
pelaksanaan misi pemasyarakatan dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana serta faktor
eksternal lain yang mempengaruhinya; aspek-aspek internal, manajemen organisasi, dan perencanaan–
penganggaran dalam menjalankan misi pemasyarakatan; pola-pola pembinaan, pembimbingan,
pengelolaan, serta pengawasan dan partisipasi publik dalam pelaksanaan tugas pokok fungsi
pemasyarakatan; dan aspek pangarusutamaan gender serta keadilan bagi anak dalam menjalankan misi
pemasyarakatan.
Dalam penyusunan naskah cetak biru dilakukan dua besaran aktivitas sebagai berikut :
Pertama, penyusunan dan perumusan rancangan naskah cetak biru. Penyusunan dan perumusan draft
pertama didasarkan pada hasil penelitian. Dalam proses penyusunannya, selanjutnya dilakukan pula
langkah-langkah pengkayaan data/ informasi dan konfirmasi ulang melalui serangkaian wawancara dan
diskusi dengan berbagai narasumber terpilih. Selain itu tim cetak biru juga didampingi oleh pembaca
ahli yang akan memberikan masukan bagi perbaikan naskah yang disusun.
Kedua, presentasi-presentasi naskah rancangan cetak biru. Presentasi dilakukan dalam dua lingkungan
yang berbeda. Presentasi pertama dilakukan secara terbatas dikalangan internal Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan dan lingkungan terkait di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Presentasi
kedua dilakukan dengan lingkungan yang lebih luas kepada pemangku kepentingan lainnya diluar
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Selain dua
presentasi tersebut dilakukan pula forum konsultasi publik naskah cetak biru Pemasyarakatan untuk
mendapatkan input yang lebih luas dari berbagai kalangan. Presentasi-presentasi tersebut diatas
dimaksudkan sebagai media untuk melakukan komunikasi dan menggali masukan dari berbagai
kalangan bagi jalan penyempurnaan naskah cetak biru.

INDONESIA
A. Perkembangan Sistem Pemasyarakatan
1. Batasan dan Filosofi Pemasyarakatan
Sistem Pemasyarakatan bagi publik lebih identik dengan “penjara” atau pembinaan oleh Lembaga
Pemasyarakatan. Dalam kenyataannya, tugas pokok dan fungsi Sistem Pemasyarakatan juga mencakup
pelayanan terhadap tahanan, perawatan terhadap barang sitaan, pengamanan, serta pembimbingan
terhadap warga binaan pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan. Oleh karenanya, sub-sub sistem
dari Sistem Pemasyarakatan (yang kemudian disebut Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan) tidak
hanya Lembaga Pemasyarakatan yang melakukan pembinaan, namun juga Rumah Tahanan Negara
untuk pelayanan tahanan, Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara untuk perawatan barang-barang
milik warga binaan atau yang menjadi barang bukti, serta Balai Pemasyarakatan untuk pembimbingan
warga binaan dan klien pemasyarakatan.
Secara filosofis Pemasyarakatan adalah sistem pemidanaan yang sudah jauh bergerak meninggalkan
filosofi Retributif (pembalasan), Deterrence (penjeraan), dan Resosialisasi. Dengan kata lain,
pemidanaan tidak ditujuan untuk membuat derita sebagai bentuk pembalasan, tidak ditujukan untuk
membuat jera dengan penderitaan, juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang
sosialisasinya. Pemasyarakatan sejalan dengan filosofi reintegrasi sosial yang berasumsi kejahatan
adalah konflik yang terjadi antara terpidana dengan masyarakat. Sehingga pemidanaan ditujukan untuk
memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya (reintegrasi).
Dalam pasal 2, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan ditegaskan bahwa
Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan
agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi
tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Penegasan ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh argumentasi Sahardjo tahun 1963, hasil Konferensi
Dinas Kepenjaraan tahun 1964 (salah satunya hasil pemikiran dari Bahruddin Suryobroto), selain juga
dipengaruhi oleh kebijakan Presiden saat membuka konferensi kepenjaraan tahun 1964 tersebut.
Dalam amanat Presiden saat membuka konferensi ditegaskan, bahwa dengan menyadari setiap
manusia adalah Makhluk Tuhan yang hidup bermasyarakat maka dalam Sistem Pemasyarakatan
Indonesia para narapidana diintegrasikan dengan masyarakat dan diikutsertakan dalam
pembangunan ekonomi negara secara aktif.
Diranah filosofis, Pemasyarakatan memperlihatkan komitmen dalam upaya merubah kondisi terpidana,
melalui proses pembinaan dan memperlakukan dengan sangat manusiawi, melalui perlindungan hakhak
terpidana. Komitmen ini secara eksplisit ditegaskan dalam pasal 5 UU Pemasyarakatan, bahwa
sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas; pengayoman, persamaan perlakuan
dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan
kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan
dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Selain itu juga ditegaskan dalam pasal 14 UU
Pemasyarakatan, bahwa setiap narapidana memiliki hak sebagai berikut:
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l.mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan pembimbingan, pembinaan dan pembinaan dalam sistem Pemasyarakatan pun dilakukan
oleh petugas fungsional khusus, yaitu petugas Pemasyarakatan. Dengan demikian pelaksanaan
Pemasyarakatan menuntut profesionalitas sumber daya manusia yang akan memahami dengan baik
tujuan Pemasyarakatan dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut, serta untuk menghindari
perlakuan-perlakuan tidak manusiawi. Selain itu, di dalam melaksanakan pembinaan dan
pembimbingan, juga diperlukan kerjasama dengan instansi pemerintah terkait serta lembaga
kemasyarakatan untuk menunjang efektifitas.
Prinsip-prinsip ini pada dasarnya dapat dijadikan indikator dalam melihat keberhasilan pelaksanaan
Pemasyarakatan dewasa ini. Meskipun bila dilihat lebih jauh, indikator yang dimaksud lebih berupa
asas dan pemenuhan hak-hak narapidana. Namun demikian, indikator ini justru menjadi ruh dari
keseluruhan pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan Indonesia. Indikator-indikator lain dalam melihat
keberhasilan ini, seperti dari aspek sumber daya manusia dan teknis pelaksanaan Pemasyarakatan,
merupakan indiaktor yang akan didasari oleh asas pelaksanaan Pemasyarakatan ini. Bila mengacu
pada Didin Sudirman (2007), perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan indikator utama
keberhasilan tugas dan fungsi pemasyarakatan, khususnya hak-hak dari Warga Binaan Pemasyarakatan
dan Tahanan. Sistem Pemasyarakatan dalam hal ini merupakan instansi yang terlibat dalam penegakan
hukum, mulai dari tahap pre-adjudikasi, adjudikasi, dan post-adjudikasi. Pada masing-masing tahap
inilah Sistem Pemasyarakatan berperan dalam memberikan perlindungan HAM. Pada tahap preadjudikasi,
Sistem Pemasyarakatan melalui Rutan berperan dalam memisahkan kewenangan yuridis
penahanan di tangan kepolisian dan kejaksaan dengan kewenangan penahanan secara fisik. Pemisahan
ini ditujukan untuk check and balances agar tidak terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan
kekuasaan dari pihak yang memiliki kewenangan secara yuridis.
Pada tahap adjudikasi, Sistem Pemasyarakatan melalui Balai Pemasyarakatan berperan dalam
memberikan pertimbangan berdasarkan penelitian kepada pengadilan. Penelitian kemasyarakatan
(Litmas) oleh Bapas diharapkan dapat memberi gambaran yang objektif tentang latar belakang suatu
peristiwa terjadi. Diharapkan setelah itu, pengadian dapat memberikan keputusan yang tepat. Pada
tahap pre-adjukasi dan adjudikasi ini, Rupbasan juga berperan dalam melindungi hak atas benda yang
harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Rupbasan dalam hal ini berperan dalam menjamin keselamatan
dan keamanan barang yang dimaksud.
Sementara itu, pada tahap post adjudikasi, Sistem Pemasyarakatan melalui UPT Lapas berperan dalam
memberikan pembinaan untuk melindungi hak asasi narapidana. Pembinaan dalam hal ini menjadi
pencegah terjadinya prisonisasi (proses pembelajaran dalam kultur penjara) yang justru dapat membuat
kondisi seseorang (narapidana) lebih buruk dari pada sebelum ia masuk ke dalam Lapas.
Munculnya konsep Pemasyarakatan pada tahun 1964 pada dasarnya sangat terkait dengan adanya
dorongan untuk pelaksanaan pemidanaan yang lebih manusiawi dan melindungi hak-hak asasi
terpidana, termasuk tahanan. Dorongan tersebut bahkan telah formalisasi oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) pada tahun 1955 dalam bentuk Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners.
Di dalamnya terdapat sejumlah hak dan perlakuan minimum yang harus diberikan kepada
terpidana/tahanan selama berada dalam institusi pejara/penahanan. Standard Minimum Rules dan
munculnya konsep Pemasyarakatan inilah yang menandai peralihan sistem pemidanaan Indonesia dari
sistem pemenjaraan yang dalam praktek lebih menekankan sentimen penghukuman (punitive
sentiment) atau pembalasan (retributive).
Terkait dengan sejumlah perkembangan dalam pembangunan hukum di Indonesia dewasa ini,
khususnya dalam konteks penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka ke
http://www.djpp.depkumham.go.id
depannya posisi Sistem Pemasyarakatan akan semakin penting. Reintegrasi sosial yang menjadi dasar
filosofis Sistem Pemasyarakatan secara eksplisit telah menjadi bagian dari rencana nasional dalam
pembaruan KUHP. Pada pasal 54 RKUHP dinyatakan, bahwa tujuan pemidanaan adalah;
a.Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat.
b.Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang
baik dan berguna.
c.Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Sementara itu pada pasal 54 (2) juga ditegaskan bahwa; pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Rancangan ini ke depan akan memperkuat posisi
Sistem Pemasyarakatan sebagai salah satu bagian integral Sistem Peradilan Pidana sekaligus mewarnai
nuansa bekerjanya sub-sub SPP lainnya dalam konteks teknis dan filosofis.
2. Pemidanaan Masa Penjajahan
Diskusi tentang Sistem Pemasyarakatan sebagai proses dan tujuan pemidanaan di Indonesia dewasa ini
tidak dapat dilepaskan dari proses dan tujuan pemidanaan masa penjajahan Belanda dan masa-masa
awal Indonesia merdeka. Sebagai negara yang pernah dijajah, sistem hukum Indonesia sangat
dipengaruhi oleh Belanda, demikian pula sistem pemidanaannya. Hal ini terlihat dengan jelas dalam
bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan peninggalan Belanda. KUHP
yang disebut dengan Wetboek van Strafrecht voor de Inlenders in Nederlandsch Indie ini telah
ditetapkan Belanda sejak tahun 1872. Penjara-penjara Belanda juga masih digunakan hingga kini
meskipun telah dirubah penamaannya menjadi Lembaga Pemasyarakatan. Kenyataan ini dalam banyak
hal justru menjadi hambatan dalam implementasi Pemasyarakatan yang muncul kemudian.
Dalam KUHP yang berlaku masa penjajahan Belanda tersebut, jenis pidana utama bagi pribumi adalah
pidana kerja, selain juga pidana mati dan denda. Pidana kerja ini dibagi menjadi pidana kerja paksa dan
pidana dipekerjakan. Dalam kenyataannya, pidana kerja paksa ini identik dengan “pembuangan”
karena pelaksanaannya dilakukan di luar dari daerah tempat keputusan pengadilan pertama dijatuhkan.
Pembuangan ini dianggap sebagai upaya menambah penderitaan dari pidana kerja paksa tersebut.
Tujuan utama dari pidana ini adalah untuk menunjang kepentingan kolonial, terutama kepentingan
ekonomi, politik dan militer.
Tahun 1905 muncul kebijakan baru. Jika sebelumnya terpidana kerja paksa di tempatkan jauh dari
daerah asalnya, dengan kebijakan baru ini kerja paksa dilakukan dalam lingkungan tembok
penampungan terpidana. Alasan munculnya kebijakan baru ini adalah kurangnya kegunaan pidana
kerja paksa yang dilakukan sebelumnya, serta atas alasan tidak adanya pengawasan yang efektif
(dengan munculnya pelarian dan pekerja yang “bermalasan”). Perubahan dengan alasan ini dianggap
dapat memenuhi sifat “membuat takut” dari pidana penjara. Dalam kebijakan ini dilakukan
pengkonsentrasian para terpidana kerja paksa pada pusat-pusat penampungan wilayah, disebut
“penjara-penjara pusat”, yang juga difungsikan untuk menampung tahanan, sandera, dan lainnya.
Untuk para terpidana kerja paksa inilah didirikan bangunan-bangunan “penjara” yang menampung
mereka pada malam hari. Pemisahan terpidana dalam “penjara” ini tidak dilakukan. Perlakuan terhadap
terpidana sangat tidak manusiawi. Sementara untuk terpidana yang berasal dari kalangan Eropa sendiri,
didirikan tempat pelaksanaan pidana khusus yang disebut sebagai Centrale Gevangenis voor
Europeanen (Penjara Pusat untuk Orang-orang Eropa) ‘Jurnatan’ yang berada di Semarang. Berbeda
dengan bangunan-bangunan “penjara” untuk pribumi yang dipidana kerja paksa, bangunan penjara
‘Jurnatan’ inilah bangunan pertama yang memang difungsikan khusus untuk tempat pelaksanaan
pidana di Indonesia.
Kebijakan baru perlakuan terhadap terpidana ini mulai dilaksanakan oleh Kepala Urusan Kepenjaraan.
http://www.djpp.depkumham.go.id
Sejak saat ini pula kepenjaraan merupakan suatu urusan yang mempunyai pimpinan pusat dengan
dilengkapi oleh para pejabat-pejabat seperti inspektur, direktur, pegawai teknik, dan administratif.
Bangunan fisik penjara dikelilingi oleh tembok setinggi 4,5 meter, terdiri dari kamar-kamar besar yang
menampung sekitar 25 orang terpidana. Namun demikian, karakteristik fisik penjara sentral yang besar,
dengan kapasitas 700-2700 terpidana potensial menjadi tempat penularan kejahatan serta kekerasan
antar narapidana.
Setelah ditetapkannya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (sekarang dikenal dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) tanggal 15 Oktober 1915 (diberlakukan tanggal 1 Januari 1918), tidak
dikenal lagi adanya “pidana kerja”, namun diganti dengan “pidana hilang kemerdekaan”. Bersamaan
dengan diberlakukannya Wetbuk van Strafrecht ini diberlakukan pula Gestichten Reglement Staatsblad
(Reglemen Penjara) 1917. Perubahan ini tidak terlalu menemukan kesulitan karena para terpidana kerja
paksa sebelumnya juga sudah dikonsentrasikan di penjara-penjara sentral untuk merampas kebebasan
bergeraknya. Pelaksanaan Reglemen Penjara ini baru benar-benar dilakukan sesudah tahun 1920,
ketika digantinya sistem Penjara-Penjara Sentral dengan Sistem Penjara Pelaksana Pidana. Bersamaan
dengan perubahan ke sistem Penjara Pelaksana Pidana ini, ditetapkan pula Rumah Tahanan untuk
menampung orang-orang yang masih dalam proses pengadilan.
Salah satu keinginan dari Hijmans, Kepala Urusan Kepenjaraan Hindia-Belanda, dalam pelaksanaan
Sistem Penjara Pelaksana Pidana tahun 1921 adalah dilakukannya reformasi penjara yang memberikan
perhatian kepada terpidana anak dan pengklasifikasian terpidana dewasa. Menurutnya, untuk anakanak
yang berusia di bawah 16 tahun ditempatkan di “rumah pendidikan”. Keinginan Hijmans ini
disetujui pemerintah Hindia-Belanda saat itu dengan ditetapkannya bangunan penjara lama di Madiun
sebagai rumah penjara perbaikan untuk anak-anak terpidana laki-laki di bawah umur 19 tahun. Rumah
penjara khusus untuk anak di Madiun ini merupakan penjara pertama untuk orang-orang Indonesia
yang difungsikan sebagai pelaksana pidana. Satu pemikiran Hijmans lainnya terkait dengan
kepentingan anak yang juga sangat maju saat itu adalah wacana penempatan anak di luar penjara
dengan syarat (probation) serta keharusan untuk selalu mendahulukan penyelesaian perkara anak.
Pada masa pendudukan Jepang, struktur organisasi kepenjaraan dan bentuk-bentuk perlakuan terhadap
terpidana tidak jauh berbeda dengan yang telah diterapkan oleh Belanda. Meskipun secara teoritis
Jepang sudah berfikir untuk melakukan reformasi dan rehabilitasi terhadap terpidana. Jepang juga
melakukan pendidikan bagi petugas-petugas kepenjaraan. Namun dalam kenyataannya perlakuan
terhadap terpidana selama pedudukan Jepang justru merupakan memori buruk bagi bangsa Indonesia.
Perlakuan yang tidak lebih sebagai eksploitasi atas manusia untuk kepentingan perang Jepang saat itu.
3. Pemidanaan Masa IndonesiaMerdeka (1945-1963)
Pemidanaan pasca kemerdekaan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode sebelum
dan sesudah munculnya Pemasyarakatan sebagai model pemidanaan di Indonesia. Adapun momentum
awal kebijakan kepenjaraan di Indonesia terjadi sekitar dua bulan setelah kemerdekaan, tepatnya saat
dikeluarkannya Surat Edaran pertama dari Menteri Kehakiman RI pertama, Mr.Dr.Supomo, nomor
G.8/588 tanggal 10 Oktober 1945. Edaran ini berisi penegasan bahwa semua penjara telah dikuasai oleh
RI sehingga perintah-perintah terkait kepenjaraan harus berasal dari Menteri Kehakiman atau dari Mr.
RP Notosusanto sebagai Kepala Bagian Urusan Penjara. Selain itu, edaran ini juga menekankan
perbaikan dalam perlakuan terhadap terpidana, seperti; mengutamakan kesehatan terpidana khususnya
kecukupan makanan, pemberian pekerjaan yang bermanfaat bagi perubahan perilaku terpidana, serta
perlakuan yang harus manusiawi dan adil.
Pada 26 Januari 1946, Kepala Bagian Urusan Penjara mengeluarkan surat edaran yang menyatakan
bahwa Reglemen Penjara 1917 masih dinyatakan berlaku, meskipun dilakukan sedikit perubahan
dalam hal pengurusan dan pengawasan terhadap penjara-penjara. Tahun 1947, melalui surat edaran
Nomor G.8/290 dinyatakan bahwa dalam proses pemindahan terpidana sedapat mungkin dilakukan
tanpa harus berjalan kaki dan dibelenggu. Pada tahun yang sama melalui edaran nomor G.8/437
diinstruksikan agar dibentuknya bagian pendidikan dalam tata laksana kepenjaraan. Baik pendidikan
http://www.djpp.depkumham.go.id
untuk terpidana maupun untuk pegawai yang saat itu masih banyak yang buta huruf. Sementara itu,
melalui edaran nomor G.8/1510 tahun 1948, Kepala Jawatan Kepenjaraan menginstruksikan agar
dilakukan pemisahan yang ketat antara pelanggar hukum anak-anak dengan dewasa serta instruksi
untuk menunjuk pegawai khusus untuk pendidikan dan perawatan anak-anak terpenjara. Pada periode
1946-1948 muncul pula kebijakan untuk melakukan diversi (langkah untuk menjauhkan pemrosesan
perkara pidana secara formal) untuk kasus-kasus yang sebelumnya dipidana penjara, seperti mengemis.
Pada periode ini pula ditetapkan pemberian remisi (pemotongan masa pidana) setiap tanggal 17
Agustus.
Langkah maju lainnya dalam kebijakan pemenjaraan pasca kemerdekaan Indonesia adalah munculnya
edaran nomor J.H. 1.3/17/35 tahun 1952 tentang pedoman penempatan terpidana berdasarkan jenis
kejahatan, lama pidana, status pendidikan, batas umur, jenis kelamin, status sosial, serta pemindahan
terpidana dengan sisa pidana 3 (tiga) bulan ke penjara tempat asalnya agar dekat dengan keluarganya.
Tahun 1952 juga merupakan tahun penyelenggaraan pertama kursus pengurus penjara. Sementara itu,
tahun 1953 melalui edaran Kepala Jawatan nomor J.H. 3.18/4/33, dilakukan upaya memperoleh datadata
tentang terpidana tertentu mengenai latar belakang perbuatannya, kemungkinan-kemungkinan
untuk perbaikannya, cara-cara perlakuan yang sesuai, dan lainnya. Pada tanggal 6 Februari 1956
muncul pula pernyataan bersama antara antara Kementrian Sosial, Jawatan Kepenjaraan, Jawatan
Pendidikan Masyarakat, Jawatan Penempatan Tenaga, dan Kantor Pusat Jawatan Penerangan Agama,
tentang nasib bekas terpidana. Salah satu kesepakatan yang diambil adalah tetap merahasiakan status
bekas terpidana.
Masih pada tahun 1956, tepatnya tanggal 20-24 Juli, diselenggarakan Konferensi Dinas Kepenjaraan
Kedua di Sarangan. Konferensi sebelumnya diselenggarakan di Nusakambangan pada November 1951.
Dalam konferensi Sarangan ini mulai muncul pemikiran tentang tujuan dari pemidanaan, yaitu
mengembalikan terpidana ke masyarakat sebagai seorang anggota yang bergunadan tidak melakukan
lagi pelanggaran terhadap tata hukum masyarakat. Dalam hal ini dipahami pula bahwa dalam
mewujudkan proses pemberantasan kejahatan yang dimulai dari saat penangkapan oleh polisi sampai
dengan kembalinya pelanggar hukum ke tengah masyarakat diperlukan bantuan penuh dari masyarakat
dan instansi lain yang bersangkutan. Pengaruh dari konferensi Sarangan ini adalah mulai
diikutsertakannya terpidana tertentu dalam aktivitas-aktivitas yang berlangsung di tengah masyarakat.
Pada periode ini, tujuan pemidanaan secara konseptual disebut dengan resosialisasi. Dalam
perkembangannya, pengaruh pemikiran-pemikiran dalam kriminologi pada tahun 1960-an menciptakan
pergeseran dalam pandangan terhadap kejahatan yang lebih memperhatikan aspek lingkungan
kehidupan pelaku kejahatan. Sebelumnya perhatian lebih banyak diberikan pada aspek individu pelaku
kejahatan itu sendiri.
4. Munculnya Pemasyarakatan Hingga Kini
Konsep Pemasyarakatan di Indonesia diperkenalkan secara formal pertama kali oleh Sahardjo SH saat
pemberian gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang Ilmu Hukum kepada dirinya oleh Universitas
Indonesia tanggal 5 Juli 1963. Saat itu, beliau adalah Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Di
dalam pidatonya, Sahardjo menjelaskan bahwa tujuan dari pidana penjara di samping menimbulkan
rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, (juga ditujukan untuk)
membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis
Indonesia yang berguna. Secara singkat tujuan ini disebutnya sebagai Pemasyarakatan. Dalam beberapa
diskusi yang dilakukan setelah itu oleh Sahardjo dengan Bahrudin Suryobroto disepakati bahwa konsep
pemasyarakatan ini berkembang lebih jauh dari apa yang telah dianut sebelumnya sebagai tujuan
pemidanaan, yaitu resosialisasi. Dalam hal ini tidak lagi memandang terpidana sebagai semata-mata
sebagai manusia yang tidak lengkap sosialisasinya.
Perumusan lebih jauh konsep Pemasyarakatan ini dilakukan melalui Konferensi Nasional Kepenjaraan
di Lembang, Bandung, tanggal 27 April hingga 7 Mei 1964. Di dalam konferensi ini, Bahrudin
Suryobroto yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Kepala Direktorat Pemasyarakatan, lebih jauh
menjelaskan bahwa Pemasyarakatan bukan hanya tujuan dari pidana penjara, melainkan suatu proses
http://www.djpp.depkumham.go.id
yang bertujuan memulihkan kembali kesatuan hubungan kehidupan dan penghidupan yang terjalin
antara individu terpidana dan masyarakat, yang dapat dicapai melalui sebuah proses di mana terpidana
turut serta secara aktif. Dalam hal inilah Pemasyarakatan berbeda dengan Resosialisasi yang lebih
menekankan aspek individu terpidana bukan pada aspek integrasinya kembali dengan masyarakat.
Konsepsi Sahardjo tentang Pemasyarakatan yang juga dijelaskan lebih jauh oleh Bahrudin Suryobroto
dalam Konferensi Nasional Kepenjaraan tahun 1964 ini merupakan momentum yang membedakan
filosofi, proses, dan tujuan pemidanaan di Indonesia dengan masa sebelumnya, yaitu masa penjajahan
Belanda dan masa Indonesia merdeka 1945 hingga awal 1963. Pada masa sebelum diperkenalkannya
konsep Pemasyarakatan, secara filosofis pemidanaan di Indonesia bertujuan untuk pembalasan,
penjeraan, hingga resosialisasi. Pada masa penjajahan filosofi pemidanaan sangat terkait dengan
kepentingan kontrol pemerintah kolonial terhadap pribumi. Sehingga upaya mencapai tujuan
pembalasan dan penjeraan dari pemenjaraan justru dilakukan secara tidak manusiawi. Sementara pada
periode Indonesia merdeka hingga sebelum diformalkannya konsep Pemasyarakatan (1945-1963)
filososi resosialisasi lebih dominan.
Pasca Konferensi Dinas Kepenjaraan Nasional tahun 1964, sebagai bentuk komitmen pelaksanaan
konsep Pemasyarakatan, Wakil Kepala Direktorat Pemasyarakatan, melalui Surat Kantor Besar
Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.6.8/506, menginstruksikan agar dilakukan penggantian nama
kantor dan kesatuan dalam lingkungan direktorat dengan memakai Pemasyarakatan sebagai ganti dari
Kepenjaraan. Semenjak tahun 1964 ini, sejumlah perubahan yang berpengaruh terjadi. Seperti pada
periode 1975-1976 terselenggara sejumlah rapat kerja yang pada akhirnya berpengaruh terhadap
munculnya manual-manual yang diperlukan dalam perlakuan terhadap terpidana berdasarkan konsepsi
Pemasyarakatan. Beberapa manual yang berhasil disusun adalah; tentang Pembinaan Dalam Lembaga,
Pembinaan Luar Lembaga, Manual Pembinaan Tuna Warga yang berisi model-model formulir dan
register, serta manual tentang Pembinaan Sarana Sistem Pemasyarakatan. Pasca munculnya
Pemasyarakatan, terjadi pula peningkatan hubungan dengan masyarakat dan dunia internasional dalam
bentuk keikutsertaan pada kongres-kongres yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB).
Pasca munculnya Pemasyarakatan pada tahun 1964 ini, diperlukan waktu lebih dari 30 tahun hingga
Indonesia memiliki Undang-Undang khusus tentang Pemasyarakatan. Sebelum adanya UU Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pelaksanaan pidana pemenjaraan di Indonesia masih menjadikan
reglemen penjara sebagai “pedoman”. Hal ini di satu sisi tidak mengundang masalah karena secara
prinsip (filosofis) telah ada komitmen besar untuk pemasyarakatan yang jauh berbeda dengan filosofi
pemenjaraan. Namun di sisi lain, lamanya rentang waktu untuk dibuatnya UU khusus tentang
Pemasyarakatan memperlihatkan lemahnya perhatian proses politik, di legislatif dan eksekutif.
Namun demikian, perkembangan Pemasyarakatan sebagai sistem telah didukung oleh sejumlah
momentum parsial, seperti munculnya kebijakan struktural untuk pengkhususan penanganan
narapidana anak. Sejak bulan November 1966, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan membawahi dua
direktorat, yaitu Direktorat Pemasyarakatan dan Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan
Pengentasan Anak (BISPA). Hal ini menunjukkan bahwa dari awalnya Pemasyarakatan telah memiliki
komitmen untuk membedakan perlakuan antara narapidana anak dengan dewasa. Komitmen ini bahkan
berimplikasi pada aspek struktur organisasional. Hanya saja, pengalaman kekinian dari
Pemasyarakatan memperlihatkan masih terbengkalainya upaya perlakuan khusus bagi narapidana anak.
Meskipun sudah didirikannya Lapas khusus anak, namun pada struktur Direktorat tidak ada unit khusus
yang difungsikan untuk itu. Selama ini penanganan narapidana anak berada di bawah Direktorat
Pembinaan Kemasyarakatan, namun tidak ada seksi khusus.
Perkembangan lainnya pasca munculnya Pemasyarakatan yang juga penting nilainya adalah
difungsikanya unit-unit pelaksana teknis pemasyarakatan sebagai pelindung hak asasi manusia. Seiring
dengan munculnya Pemasyarakatan tahun 1964, tugas besar yang ingin diemban adalah perlindungan
terhadap hak asasi manusia. Didin Sudirman (2007) menjelaskan tentang hal ini. Rumah Tahanan
http://www.djpp.depkumham.go.id
misalnya, selain melaksanakan tugas perawatan dan pelayanan, juga memiliki kewenangan hukum
untuk melindungi harkat dan martabat tahanan. Demikian pula halnya dengan Lembaga
Pemasyarakatan yang mengupayakan seoptimal mungkin pemidanaan yang memanusiakan manusia,
serta Balai Pemasyarakatan yang mengupayakan pertimbangan-pertimbangan proporsional bagi anak
yang berhadapan dengan hukum di muka pengadilan.
Satu unit lain yang penting peranannya adalah Rupbasan. Sejumlah peraturan memperjelas serta
memperkuat peran yang dimainkan oleh Rupbasan dalam penegakan hukum di Indonesia, yaitu UU
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, serta Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
tentang Pelaksanaan KUHAP. Tujuan dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah agar dapat dihindarinya
penyalahgunaan barang bukti dan barang sitaan. Hal ini diupayakan melalui pemisahan fungsi antara
pejabat yang bertanggung jawab secara Yuridis dengan pejabat yang bertanggung jawab secara fisik
atas barang-barang tersebut.
Selain mencatat sejumlah kemajuan, semenjak tahun 1980-an, Pemasyarakatan mulai berhadapan
dengan masalah yang semakin kompleks. Baik masalah yang terkait dengan narapidana maupun
masalah organisasional. Beberapa masalah yang cukup mendapatkan perhatian publik adalah semakin
rendahnya kemampuan tampung lembaga pemasyarakatan, pelarian, kerusuhan, kekerasan, dan
rendahnya kemampuan dalam memenuhi hak-hak narapidana. Menurut Dirdjosisworo (1984),
pelaksanaan Pemasyarakatan di Indonesia masih berhadapan dengan sejumlah masalah, seperti; gedung
atau bangunan penjara yang masih peninggalan Belanda, keterbatasan pemahaman sumber daya
manusia, biaya, dan masyarakat yang masih belum dapat menerima kembali mantan narapidana.
Pemasyarakatan secara filosofis tidak dapat diselenggarakan dengan setting kepenjaraan. Bila sistem
pemidanaan masih bersifat pemberian derita yang tercermin dari bangunan penjara, cara perlakuan
yang tidak manusiawi, serta penelantaran hak-hak narapidana, maka selama itu pula sistem pemidaan
masih berbentuk kepenjaraan. Sebagaimana dijelaskan oleh Duff dan Garland (1994), untuk menguji
filosofi penghukuman tidak dapat dilakukan saat masih di atas kertas, namun lebih jauh dari itu
dilakukan saat direalisasikan dalam praktek.
B. Isu-Isu Utama dalam Sistem Pemasyarakatan
1. Deinstitusionalisasi
Sistem Pemasyarakatan pada dasarnya merupakan criminal policy (kebijakan kriminal) yang
menjadi salah satu bagian dari social management system (sistem manajemen sosial). Secara umum,
manajemen sosial yang dilakukan melalui Sistem Pemasyarakatan ini dapat dibedakan menjadi
kebijakan pemenjaraan dan kebijakan non pemenjaraan. Kebijakan non pemenjaraan, atau yang juga
disebut dengan deinstitusionalisasi, merupakan salah satu isu utama dalam Sistem Pemasyarakatan
dewasa ini, baik yang dilakukan oleh internal Sistem Pemasyarakatan maupun yang terkait dengan
fungsi sub-sub sistem peradilan pidana lainnya. Deinstitusionalisasi penghukuman oleh sub-sub sistem
peradilan pidana di luar Sistem Pemasyarakatan dapat berbentuk diskresi, diversi, keadilan restoratif,
serta putusan hukuman percobaan atau kerja sosial oleh pengadilan. Sementara deinstitusionalisasi
penghukuman oleh Sistem Pemasyarakatan dapat berbentuk pembebasan bersyarat hingga bentukbentuk
penghukuman yang berbasis masyarakat seperti community based correction.
Filosofi reintegrasi sosial yang menjadi latar belakang munculnya Sistem Pemasyarakatan pada
dasarnya sangat menekankan aspek pengembalian narapidana ke masyarakat. Oleh karenanya, dalam
perkembangan lebih jauh dari filosofi reintegrasi sosial tersebut muncul sejumlah sintesa yang sangat
jelas memperlihatkan komitmen untuk melakukan deinstitusionalisasi penghukuman. Beberapa
perkembangan yang dimaksud adalah munculnya Community Based Correction, restorative justice,
dan bentuk-bentuk pidana alternatif lainnya. Sangat jelasnya perkembangan filosofis reintegrasi sosial
ini menuntut keterbukaan Pemasyarakatan untuk perubahan.
Perkembangan filosofi penghukuman ke arah deinstitusionalisasi ini pada prakteknya telah coba
diadaptasikan ke dalam sistem hukum Indonesia meskipun masih sebatas rancangan peraturan
perundang-undangan. Oleh karenanya, selain menuntut keterbukaan Sistem Pemasyarakatan, yang jauh
http://www.djpp.depkumham.go.id
lebih adalah pemahaman bahwa ke depan tugas bagi Sistem Pemasyarakatan akan semakin berat.
Rancangan KUHP, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 54 (1) dan (2) mempertagas pentingnya peran
Sistem Pemasyarakatan ke depan. Rancangan ini telah secara eksplisit menjelaskan bahwa
pemasyarakatan merupakan tujuan pemidanaan di Indonesia.
Selain itu, rancangan KUHP juga mulai beradaptasi dengan upaya institusionalisasi
penghukuman. Tentunya hal ini juga menuntut kesiapan dan peran aktif Sistem Pemasyarakatan ke
depan sebagai pelaksana hukuman. Dalam pasal 65 RKUHP dijelaskan, bahwa pidana pokok terdiri
dari; pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial.
Keberadaan pidana kerja sosial ini jelas merupakan langkah deinstitusionalisasi penghukuman.
Pelaksanaannya sangat terkait dengan tugas pokok dan fungsi dari Balai Pemasyarakatan. Oleh
karenanya, Sistem Pemasyarakatan perlu melakukan penguatan kapasitas dari Bapas sebagai
organisasi, terkait dengan perencanaan dan penganggarannya, serta penguatan kapasitas dari sumber
daya manusianya.
Perkembangan lain, selain RKUHP, juga menegaskan pentingnya peran Sistem Pemasyarakatan
di masa datang, khususnya Lembaga Pemasyarakatan dan Balai Pemasyarakatan. Dalam rancangan
Undang-Undang Peradilan Pidana Anak (RUU PPA) telah disinggung upaya deinstitusionalisasi
penghukuman, sekaligus menjadi tuntutan untuk penguatan fungsi-fungsi Lapas dan Bapas. Dua
alternatif penyelesaian masalah anak yang berhadapan dengan hukum menurut RUU PPA ini adalah
diversi dan keadilan restoratif. Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang
diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara
tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi keluarga dan/atau
masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan Anak, polisi, jaksa atau hakim. Sementara keadilan
restoratif adalah suatu proses penyelesaian yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan
pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian
terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya, dengan menekankan pemulihan dan bukan
pembalasan. Pentingnya memperkuat peran Lapas dan Bapas ini terkait dengan penegasan-penegasan
eksplisit dalam RUU PPA ini tentang pentingnya penelitian kemasyarakatan (pasal 37 RUU) serta
pembinaan dan pembimbingan anak (Bab XI RUU).
Tanpa melihat perkembangan dalam rancangan dalam RKUHP maupun RUU PPA tersebut di
atas pun pada dasarnya sejumlah kebijakan dalam Sistem Pemasyarakatan telah mengarah ke
deinstitusionalisasi tersebut. Seperti diberikannya Pembebasan Bersyarat dan Cuti. Hanya saja dalam
praktek kebijakan ini belum dapat diterima oleh sebagian besar narapidana. Selain karena sejumlah
penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan, belum maksimalnya implementasi PB dan cuti ini juga
sangat terkait dengan masih rendahnya kapasitas dari Bapas. Masih minimnya kebijakan
deinstitusionalisasi ini, meskipun memungkinkan, juga terkait dengan masih tingginya sentimen
penghukuman pada sub SPP lainnya. Oleh karenanya, diperlukan koordinasi filosofis serta koordinasi
manajemen (organisasi) antara lembaga-lembaga yang tergabung dalam SPP tersebut.
Terkait dengan dorongan ke arah deinstitusionalisasi penghukuman dalam Sistem
Pemasyarakatan, telah berkembang beberapa model yang pula dapat dikembangkan di Indonesia.
Bagian berikut ini akan menjelaskan dua model dominan dan terkait erat dengan filosofi Reintegrasi
Sosial dari Sistem Pemasyarakatan.
Community Based Correction
Menurut Snarr (1996), Community Based Correction (CBC) berkembang pada paruh terakhir
abad ke-20, khususnya mulai tahun 1967. Tulang punggung pelaksanaan CBC di awal
perkembangannya adalah probation (pidana bersyarat) dan parole (pembebasan bersyarat). Secara
umum, tema sentral dari CBC ini adalah penyediaan pelayanan (pembinaan terhadap narapidana)
dengan keterlibatan masyarakat. Tentang keterkaitan erat antara konsep Reintegrasi Sosial dengan CBC
ini, Snarr menegaskan, bahwa (upaya) reintegrasi mengharuskan keterlibatan atau partisipasi dalam
institusi-institusi komunitas. Dalam hal ini, reintegrasi berangkat dari premis yang mengatakan, bahwa
jika seseorang mampu untuk terlibat dalam institusi-institusi sosial utama serta dalam setiap aktivitas
masyarakat akan meningkatkan peluang bagi munculnya perilaku taat hukum. Di lain pihak, secara
ringkas Snarr menjelaskan CBC adalah setiap aktivitas yang melibatkan komunitas (masyarakat) untuk
tujuan mengintegrasikan kembali terpidana dapat disebut sebagai upaya CBC. Meskipun dalam hal ini
http://www.djpp.depkumham.go.id
Snarr menegaskan tidak secara otomatis setiap keterlibatan fasilitas lokal dalam hal pemidanaan dapat
selalu dikategorikan sebagai CBC, bila fasilitas lokal tersebut hanya difungsikan sebagai tempat
penahanan.
CBC dalam konteks kajian pencegahan kejahatan berasal dari strategi pencegahan dengan
pendekatan masalah-masalah sosial yang dalam prakteknya lebih menekankan pada sumber daya
masyarakat, selain pula perlunya dukungan dari pemerintah dan kalangan bisnis pada tingkat lokal.
Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP), keterbatasan kemampuan dari sub-sub sistem
Peradilan Pidana dalam penegakan hukum dan pencegahan kejahatan, seperti biaya pemenjaraan yang
semakin besar akibat over crowding, merupakan latar belakang utama mengapa diperlukannya
keterlibatan masyarakat secara lebih luas. Secara umum CBC sangat berpotensi membangun
pemahaman masyarakat tentang tanggung jawab serta peran yang harus dimainkannya dalam
pencegahan kejahatan secara aktif.
Mengacu pada Snarr (1996), ada beberapa alasan munculnya Community Based Correction
sebagai alternatif dari pemenjaraan. Pertama, ketidakpuasan terhadap kondisi penjara, seperti
overcrowding, dana yang tidak cukup, extreme idleness (ketiadaan kegiatan atau pekerjaan yang
membuat narapidana terbengkalai), kurangnya program-program yang bermanfaat, hingga
ketidakamanan di dalam penjara. Satu kondisi lain yang merupakan dampak dari kondisi-kondisi
sebelumnya terjadinya prisonisasi, yaitu proses pembelajaran kejahatan antar narapidana selama berada
dalam penjara. Kedua, alasan kemanusiaan, di mana hal ini adalah sesuatu yang sulit untuk dijamin bila
seseorang berada di dalam penjara. Ketiga, efektivitas pembiayaan yang sulit sekali dicapai dalam
pemenjaraan tradisional. Dalam pelaksanaan Community Based Correction, seorang terpidana akan
berada di masyarakat dan melakukan kegiatan seperti anggota masyarakat biasa lainnya. Dengan
bekerja diharapkan narapidana mampu memperoleh pendapatan, yang sekaligus akan mengurangi
beban yang seharusnya ditanggung dalam pelaksanaan pidana terhadap dirinya. Keempat, terciptanya
administrasi keadilan yang lebih baik. Community Based Correction menawarkan peluang bagi
kerjasama yang lebih besar antara kepolisian, pengadilan dan lembaga koreksi (pemasyarakatan) pada
tingkat lokal. Kelima, adalah posisinya CBC sebagai intermediate sanctions. Muncul CBC pada
dasarnya dapat menjadi pidana pengganti dalam menanggulangi biaya operasional dari pemenjaraan.
Namun demikian, keberhasilan pelaksanaan CBC ini sangat bergantung pada beberapa aspek.
Mengacu pada McCarthy, et.al. (2001) ada sejumah syarat dalam tercapainya tujuan yang diharapkan
oleh CBC ini, sebagaimana dijelaskan berikut ini. Pertama, lokasi yang didalamnya terdapat interaksi
dengan meaningful community, yaitu sebuah lingkungan yang menawarkan kesempatan yang sesuai
dengan kebutuhan para pelaku kejahatan. Efektivitas pelaksanaan CBC sangat memerlukan penerimaan
dari masyarakat karena tujuan akhirnya adalah integrasi. Syarat lokasi ini idealnya dilakukan pada
tempat di mana terpidana berasal, atau melakukan kejahatan. Namun dalam hal-hal tertentu muncul
penolakan dari masyarakat sehingga tujuan integrasi yang diharapkan sulit tercapai. Kedua, terkait
dengan syarat pertama, yaitu diperlukannya lingkungan yang memiliki batasan fisik yang minimum,
namun pelaku kejahatan tinggal dengan seseorang yang bertanggung jawab dengan pengawasan yang
minimal. Ketiga, adanya program pendidikan, pelatihan, konseling, dan layanan-layanan dukungan
lainnya yang berbasis pada komunitas. Dalam hal ini disediakan oleh non lembaga koreksi dan
lembaga swasta. Jikapun ada keterlibatan petugas lembaga koreksi maka diorganisir dalam jejaring
penyedia layanan yang komprehensif. Keempat, diciptakannya kesempatan bagi pelaku kejahatan
untuk mengasumsikan dengan faktor usia. Dalam praktekknya, CBC sangat mengharapkan keterlibatan
aktif pesertanya dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti bekerja. Sehingga untuk
memungkinkan hal ini terjadi, maka narapidana yang mengikuti program ini sebaiknya adalah mereka
yang masih berada pada usia produktif (usia 17-60 tahun). Ketiga, aspek gender. Program CBC akan
efektif bila dilakukan terhadap narapidana dengan jenis kelamin yang sama. Keempat, lamanya durasi
program. Secara ideal CBC diikuti oleh mereka yang masa pidananya paling sedikit enam bulan sampai
satu tahun. Kelima, karakteristik dari narapidana. Dalam praktek, CBC tidak menerapkan pengawasan
yang sangat ketat, sehingga untuk narapidana tertentu dengan kecenderungan berbahaya dan emosional
akan mengganggu pelaksanaan program. Demikian pula dengan narapidana yang memiliki
keterbatasan fisik karena ada pekerjaan-pekerjan yang harus dilakukan, serta narapidana yang memiliki
kebiasaan penyimpangan seksual. Keenam, pengawasan terhadap narapidana yang memiliki
ketergantungan terhadap obat-obatan terlarang dan alkohol, serta ditempatkan pada lingkungan yang
http://www.djpp.depkumham.go.id
khusus.
Berdasarkan pengalaman beberapa negara, program-program CBC yang pernah dipraktekkan
adalah (lihat Rosyitawati, 2006), Boot Camp, yaitu kamp hunian dengan kapasitas 50 orang dan
menjalankan program-program bagi narapidana yang telah disiapkan menjalani rehabilitasi. Boot Camp
diterapkan justru bergaya militer dengan disiplin yang ketat serta dengan berbagai kegiatan-kegiatan
fisik. Lain lagi dengan Halfway House, semacam rumah singgah untuk narapidana, baik yang tengah
menjalani pidana penjara dalam pelaksanaan parole (bebas bersyarat) maupun bagi pidana alternatif
(deinstitusionalisasi) bagi narapidana yang diberikan probation (hukuman bersyarat), khususnya untuk
masa pidana selama dua atau tiga bulan. Bentuk lainnya adalah furlough, sebagai pemberian
keleluasaan bagi narapidana untuk pergi bekerja atau melakukan aktivitas-aktivitas tertentu di
masyarakat secara lebih bebas selama hampir 10 jam. Larangan bepergian hanya dilakukan pada
malam hari.
Dalam penelitiannya tentang penerapan CBC di Indonesia, Rosyitawati (2006) menjelaskan
bahwa selain asimilasi, cuti menjelang bebas (CMB), cuti mengunjungi keluarga (CMK) dan
pembebasan bersyarat (PB) bentuk lainnya dari pelaksanaan CBC di Indonesia adalah pelaksanaan
pidana dalam Lembaga Pemasyarakatan Terbuka. Pada dasarnya, keberadaan lapas terbuka ini
merupakan bentuk ideal dari Pemasyarakatan yang sangat menekankan aspek integrasi yang terjadi
antara narapidana dengan masyarakat. Meskipun bila diukur dengan sejumlah indikator keberhasilan
CBC, lapas terbuka belum mampu menjalankan proses idealnya. Beberapa kendala yang membuat
Lapas Terbuka belum mampu menerapkan prinsip CBC ini menurut Rosyitawati adalah rendahnya
kemampuan sumber daya manusia, masih kurangnya peran pemerintah dalam bentuk anggaran, serta
dukungan masyarakat secara keseluruhan.
Restorative Justice
Perkembangan lainnya dari filosofi reintegrasi sosial, sekaligus upaya deinstitusionalisasi
pemidanaan ini adalah restorative justice. Secara sederhana restorative justice adalah upaya
penyelesaian informal atau di luar peradilan pidana secara bersama-sama kasus pelanggaran hukum
dengan melibatkan pihak-pihak yang lebih luas, khususnya pelaku pelanggaran, korban, komunitas
lokal, dan dimediasi oleh aparatur penegak hukum. Menurut Tony Marshall (1999), restorative justice
adalah seperangkat prinsip mendefinisikan restorative justice sebagai pendekatan penyelesaian masalah
kejahatan yang melibatkan pihak-pihak yang terkait (pelaku dan korban), komunitas umumnya, serta
(melalui) hubungan yang aktif dengan pihak-pihak (penegak hukum) yang berwenang. Adapun yang
menjadi prinsip-prinsip dari restorative justice adalah (Marshall, 1999):
- Membuat ruang bagi keterlibatan personal bagi mereka-mereka yang memiliki kepedulian
(khususnya pelaku, korban, juga keluarga mereka dan komunitas secara keseluruhan).
- Melihat masalah kejahatan dalam konteks sosialnya.
- Merupakan upaya penyelesaian masalah kejahatan yang melihat ke depan (preventif)
- Fleksibilitas dalam praktek (kreatifitas)
Dalam sejarah perkembangannya, restorative justice tidak lepas dari aspek sosio-kultural dari
masyarakat timur yang memiliki ciri kolektivitas yang lebih tinggi dari pada ciri individualitasnya.
Salah satu aspek sosio-kultural tersebut adalah praktek penyelesaian masalah dengan mekanisme adat.
Di Indonesia, mekanisme penyelesaian restorative justice ini memiliki potensi besar untuk
dilaksanakan untuk kejahatan tertentu yang tidak terlalu berat.
2. Masalah Makro Struktural
Kejelasan posisi Sistem Pemasyarakatan sebagai upaya reintegrasi narapidana dengan
masyarakatnya di satu sisi sangat menjanjikan bagi terciptanya politik pemidanaan yang sangat maju.
Namun di sisi lain terus berlarutnya permasalahan dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia saat ini
memberikan indikasi masih jauhnya Pemasyarakatan dari pencapaian seharusnya. Sejumlah penelitian
memperlihatkan adanya beberapa masalah yang sangat berpengaruh terhadap Sistem Pemasyarakatan
Indonesia selama ini. Masalah-masalah tersebut secara umum dapat dibedakan menjadi tiga bagian.
http://www.djpp.depkumham.go.id
Pertama, masalah organisasional yang dalam banyak kasus cenderung menghambat tujuan
pemasyarakatan. Isu utama terkait organisasional ini adalah diskursus tentang format kelembagaan
yang lebih terdesentralisasi, serta proses kebijakan antara top down policy process atau bottom up
policy process. Kedua, masalah teknis pemasyarakatan yang secara umum menyangkut proses
pembimbingan oleh Bapas, Perawatan oleh Rutan, Pembinaan oleh Lapas, dan pengelolaan oleh
Rupbasan. Beberapa isu yang terkait dengan proses pembinaan ini adalah tidak berkembangnya metode
pembinaan dan rendahnya kemampuan pemasyarakatan untuk memenuhi hak-hak narapidana. Ketiga,
masalah pengawasan dan partisipasi. Dalam hal ini, mekanisme internal di Departemen Hukum dan
HAM belum cukup efektif dalam melakukan pengawasan pelaksanaan pemasyarakatan sehingga
sejumlah penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi tidak terselesaikan dengan baik.
Selain itu, kelemahan internal ini justru tidak secara otomatis membuat departemen membuka diri
terhadap pengawasan eksternal.
Masih dalam kerangka ini, Sistem Pemasyarakatan juga belum mendapatkan dukungan
(support) berupa partisipasi pihak ketiga, baik dari unsur pemerintah, swasta, maupun masyarakat sipil
dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Sistem Pemasyarakatan. Dengan semakin pentingnya peran
Sistem Pemasyarakatan ke depan, terkait dengan rencana pembangunan hukum dalam RKHUP yang
semakin memperjelas tujuan penghukuman dan keberadaan hukuman alternatif, dukungan bagi Sistem
Pemasyarakatan dari pihak ketiga sangat diperlukan. Terlebih bila dihadapkan dengan kompleksitas
permasalahan yang tengah dihadapi oleh Sistem Pemasyarakatan sekarang ini, seperti dalam
manajemen organisasi, proses perencanaan dan penganggaran, teknis pemasyarakatan dan lainnya.
Secara teoritis, masalah makro struktural tersebut dapat dikategorisasi menjadi tiga bagian
besar, yaitu masalah otonomi, masalah teknologi, dan masalah kontrol sosial. Masalah otonomi
(problem of autonomy) adalah masalah yang muncul karena kurangnya otonomi dari Sistem
Pemasyarakatan sebagai sebuah organisasi. Di Indonesia, kewenangan unit pelaksana teknis
pemasyarakatan dan juga Direktorat Jenderal Pemasyarakatan secara struktural cenderung terbatas
hanya pada kewenangan teknis. Kebijakan-kebijakan fasilitatif dan pengembangan sumber daya berada
di Departemen, khususnya pada Sekretariat Jenderal. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan kurang
memiliki kewenangan dalam perencanaan dan penganggaran sendiri, meskipun dapat dianggap bahwa
Direktorat adalah stakeholder yang paling berkepentingan dengan berjalannya tugas pokok dan fungsi
UPT-UPT dengan baik.
Masalah teknologi (problem of technology) adalah masalah yang terkait dengan tugas pokok
dan fungsi “kor bisnis” dari pemasyarakatan, mulai dari pembimbingan, perawatan, pengelolaan dan
pembinaan. Masalah dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pemasyarakatan ini sangat terkait
dengan masalah otonomi. Belum terdesentralisasinya kewenangan perencanaan dan penganggaran di
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menyebabkan UPT-UPT Pemasyarakatan berhadapan dengan
masalah kurangnya sumber daya dana, manusia, dan aspek-aspek fasilitatif lainnya.
Sedangkan masalah kontrol sosial (problem of social control) terkait dengan belum efektifnya
pengawasan internal di lingkup Departemen dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan itu sendiri, serta
belum terbukanya keterlibatan unsur masyarakat sipil dalam pengawasan dan dukungan terhadap
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pemasyarakatan itu.
Ketiga masalah tersebut di atas sangat erat kaitannya dengan kondisi internal Pemasyarakatan
itu sendiri. Seperti kultur Rutan dan Lapas, serta etos kerja dan kapasitas petugas. Inilah mengapa
berbagai masalah di UPT, serta penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan, seperti kekerasan
antar narapidana, antara petugas dengan narapidana, kerusuhan, pelanggaran hak dasar manusia,
homoseksualitas, residivisme, tidak dapat semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang dilatarbelakangi
oleh motivasi petugas atau warga binaan itu sendiri. Selain itu, ketiganya juga sangat terkait dengan
seberapa besar pemahaman serta dukungan yang diberikan oleh sub-sub SPP lainnya.
3. Pemasyarakatan Dalam Sistem Peradilan Pidana
Pemasyarakatan di Depan, Tengah dan Penghujung SPP
Bila mengikuti apa yang selama ini dipahami tentang sistem peradilan pidana, maka posisi
sistem pemasyarakatan hanya berada di penghujung sistem. Dengan kata lain, Pemasyarakatan
hanyalah tempat menahan terpidana setelah diproses secara hukum oleh polisi, jaksa, dan pengadilan.
http://www.djpp.depkumham.go.id
Permasalahannya, posisi pemasyarakatan sebagai penghujung SPP ini juga ditegaskan oleh UU
Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995 itu sendiri.
Dalam kenyataannya, pemasyarakatan tidaklah sistem yang berperan hanya di penghujung SPP.
Sebagaimana telah dijelaskan, Rutan dan Bapas berperan jauh sebelum seseorang diputus menjadi
terpidana oleh pengadilan. Sehingga kenyataan ini mengharuskan masyarakat, khususnya sub-sub
sistem peradilan pidana lainnya, mengubah anggapan yang selama ini dominan. Bila pula dikaitkan
dengan rencana pembangunan hukum nasional, sebagaimana diperlihatkan oleh RKUHP, maka posisi
Sistem Pemasyarakatan semakin jelas tidak hanya sebagai penghujung SPP, namun juga di awal dan di
tengah proses peradilan pidana. Pada aspek filosofis, RKUHP justru menjelaskan Pemasyarakatan
adalah tujuan penghukuman yang harus diinternalisasi oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan lembaga
Pengadilan.
Optimalisasi Kewenangan Sub SPP
Sejumlah masalah yang muncul dalam sistem pemasyarakatan dewasa ini, khususnya masalah
overcrowded sangat terkait dengan peran yang seharusnya dapat dimainkan oleh sub sistem peradilan
pidana lainnya. Kenyataan sekarang ini memperlihatkan adanya kecenderungan sub sistem peradilan
pidana lainnya untuk menahan dan memenjarakan sebanyak mungkin orang. Hal ini dibuktikan dengan
masih minimnya keinginan polisi, jaksa, dan hakim menggunakan kewenangan yang mereka miliki
secara informal untuk mengalihkan seseorang dari penahanan atau pemenjaraan.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, perkembangan filosofi sekarang ini lebih
mengarah pada deinstitusionalisasi penghukuman. Rencana pembangunan hukum di Indonesia pun
mempertegas kecenderungan ini dalam RKUHP. Pelaksanaannya tentu saja menuntut pemahaman yang
sama serta dukungan dari sub sistem peradilan pidana lainnya. Seperti pelaksanaan restorative justice
yang membutuhkan pengertian dari polisi.
Model-Model Sinkronisasi Kerja
Pada tingkat makro, sinkronisasi kerja antar sistem peradilan pidana memerlukan perubahan
pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, perubahan pada UU Nomor 12 Tahun 1995, serta
diformulasinya Undang-Undang khusus yang mengatur sinkronisasi kerja sub-sub sistem peradilan
pidana agar Integrated Criminal Justice System benar-benar dapat diwujudkan. Beberapa prinsip yang
harus didukung dalam hal ini adalah:
1. Secara eksplisit memposisikan Pemasyarakatan tidak hanya sebagai penghujung sistem
peradilan pidana. Namun juga berada dalam proses pra-ajudikasi dan ajudikasi.
2. Secara eksplisit mengharuskan sub-sub sistem peradilan pidana lainnya melakukan sinkronisasi
dengan tujuan-tujuan pemasyarakatan. Hal ini juga mengingat kecenderungan di RKUHP.
Tujuan pemidanaan adalah integrasi kembali terpidana dengan masyarakat, sehingga modelmodel
perlakuan yang berbasis masyarakat perlu diprioritaskan. Salah satu bentuk sinkronisasi
kerja adalah dengan mengupayakan diversi (pengalihan) dari pemenjaraan melalui kewenangan
yang dimiliki oleh masing-masing sub sistem peradilan pidana. Setidaknya diprioritaskan untuk
first offender untuk kejahatan yang ringan dan anak-anak yang berkonflik dengan hukum.
3. Dalam jangka pendek, sinkronisasi kerja ini dapat diwujudan melalui kesepahaman tertulis
(Memmorandum of Understanding).
4. Perempuan dan Anak dalam Pemasyarakatan
Membahas Sistem Pemasyarakatan sebagai sebuah sistem sering terjebak dalam pola pikir yang
lebih berorientasi pada kebutuhan narapidana laki-laki dewasa sebagai mayoritas dari keseluruhan
populasi narapidana di Indonesia. Sebagai konsekuensi, isu-isu yang spesifik tentang perempuan dan
anak di dalam pemasyarakatan sering tidak mendapatkan perhatian yang cukup dan tercermin pula
dalam setiap kebijakan.
Ketidakpekaan terhadap aspek gender dalam sistem peradilan pidana secara sosiologis sangat
terkait dengan kultur masyarakat. Serta kebijakan-kebijakan negara dalam konteks yang lebih luas. Di
lain pihak saat ini dunia internasional telah membuat konsensus formal tentang perlindungan terhadap
diskriminasi gender, melalui sejumlah instrumen internasional, seperti Deklarasi Universal HAM,
http://www.djpp.depkumham.go.id
Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Convention on the Elimination of all Forms of
Discrimination against Women, Declaration on the Elimination of Violence against Women, General
Recommendation No.19 on Violence against Women, dan banyak lainnya. Terkait dengan posisi
Indonesia yang telah meratifikasi dua instrumen HAM terkait bias gender dan anak, yaitu CEDAW
(Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan) dan CRC (Konvensi Hak Anak), maka
kebijakan-kebijakan pemerintah termasuk dalam sistem peradilan pidana, khususnya dalam
pemidanaan harus mulai mempertimbangkan spesifik gender dan anak.
Kenyataannya, kebijakan-kebijakan dalam peradilan pidana, khususnya pemidanaan
(pemasyarakatan) belum sepenuhnya beradaptasi dengan tuntutan dunia internasional. Dalam kebijakan
Sistem Pemasyarakatan, hal yang spesifik gender baru terbatas pada pembedaan tempat dalam proses
pembinaan terhadap narapidana wanita, yaitu di LP khusus wanita. Demikian pula dengan kebijakan
khusus tentang pembinaan (Kepmenkeh M.02-PK.04.10 Tahun 1990), sensitifitas gender dan kepekaan
terhadap anak baru diperlihatkan dalam pemberian makanan bagi tahanan dan narapidana khusus
perempuan. Secara prinsipil yang seharusnya dilakukan adalah menjadikan aspek spesifik gender
sebagai dasar pertimbangan dalam setiap pengambilan kebijakan dalam pemasyarakatan. Baik
tercermin pada manajemen (struktur) organisasi, proses perencanaan dan penganggaran,
pengembangan sumber daya manusia Sistm Pemasyarakatan, teknis Sistem Pemasyarakatan, serta
dalam aspek pengawasan dan partisipasi. Tujuan akhirnya adalah dihasilkannya kebijakan-kebijakan
Sistem Pemasyarakatan khusus perempuan dan juga anak yang berbeda dengan kebijakan-kebijakan
pemasyarakatan terhadap narapidana laki-laki dewasa. Selama ini proses pembinaan untuk perempuan
dan anak cenderung tidak memiliki perbedaan spesifik dan terukur dengan laki-laki dewasa. Hal utama
yang diperlukan adalah sebuah kebijakan khusus yang komprehensif dan tidak bersifat parsial. Seperti
dibuatnya aturan-aturan khusus tentang pola pembinaan untuk perempuan dan anak, juga dalam proses
penganggaran.
Tentang pola pembimbingan, pelayanan, dan pembinaan spesifik yang sesuai dengan kebutuhan
anak dan perempuan perlu dirumuskan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bersama dengan
stakeholder terkait yang memiliki perhatian pada masalah anak dan perempuan. Namun demikian
secara umum pola pembimbingan, pelayanan, dan pembinaan spesifik anak dan perempuan ini akan
didasari oleh prinsip perlindungan dan pemenuhan kebutuhan spesifik anak dan perempuan; seperti
penekanan pada pendidikan pelayanan psikologis dan kesehatan. Serta yang jauh lebih penting adalah
optimalisasi deinstitusionalisasi penghukuman, di mana penjara adalah alternatif terakhir bagi anak dan
perempuan yang memiliki tanggungan anak.
Instrumen internasional khusus untuk pemenjaraan dan penahanan; Standard Minimum Rules
for the Treatment of Prisoners (1955), dalam aspek tertentu telah memberikan pedoman tentang hal ini.
Pada bagian I, aturan nomor 23 dari SMR sebagai contoh menjelaskan, (1) dalam lembaga
pemasyarakatan perempuan harus ada akomodasi untuk semua perawatan dan pengobatan yang
diperlukan sebelum dan sesudah melahirkan. Harus dibuat perencanaan bilamana dapat dilakukan
agar seorang anak lahir dalam penjara maka fakta ini tidak boleh disebutkan dalam akte kelahiran.
(2) Bilamana bayi-bayi yang sedang menyusui dibolehkan tinggal di lembaga yang disiapkan, harus
dipersiapkan suatu tempat penitipan yang dilengkapi dengan petugas yang berkualitas, di mana bayibayi
ditempatkan ketika mereka tidak dalam penjagaan ibu mereka.
Bloom et.al. (2002) menjelaskan bahwa banyak sistem yang menangani perempuan di dalam
sistem peradilan pidana tidak memiliki kebijakan resmi dan tertulis tentang manajemen dan supervisi
para pelanggar hukum perempuan. Bilapun ada, aturan yang digunakan adalah aturan yang awalnya
dirancang untuk mengatur dan mensupervisi warga binaan laki-laki. Lebih jauh Bloom, et.al.
menegasan bahwa strategi-strategi kebijakan pemidanaan yang responsif dan sensitif gender adalah
yang mampu menciptakan lingkungan dan pemahaman yang menyesuaikan dengan realitas kehidupan
perempuan serta yang secara langsung menanggapi isu-isu perempuan.
Beberapa masalah yang dominan dalam pemasyarakatan narapidana perempuan terkait dengan
psikologis narapidana serta substansi pembinaan yang lebih menekankan pembinaan yang bersifat
‘kewanitaan’. Masalah psikologis berupa kecemasan hingga depresi yang dialami narapidana
perempuan ini sangat terkait dengan tekanan struktur sosial dan budaya (dominan patriarki). Selain itu
beberapa narapidana perempuan juga berhadapan dengan belum maksimalnya jaminan hak bagi untuk
http://www.djpp.depkumham.go.id
merawat dan mengasuh anak (yang masih berusia di bawah 2 tahun) di dalam Lapas. Selain terbatasnya
kamar juga karena kondisi yang belum higienis. Selain itu, kebijakan menutup pintu kamar membuat
anak-anak turut ‘terpenjara’ bersama. Selain itu, tekanan psikologis lainnya yang umum diderita
narapidana perempuan adalah penceraian oleh suami akibat stigma terhadap dirinya yang berstatus
terpidana. Hal ini juga berujung pada tidak jelasnya nasib anak.
Secara umum, permasalahan narapidana perempuan ini sangat terkait dengan kesadaran,
perhatian serta prioritas dari pemerintah, khususnya Departemen Hukum dan HAM. Keterbatasan
anggaran membuat pihak Lapas sebagai UPT tidak dapat memberikan kebutuhan serta fasilitas khusus
bagi perempuan. Strategi kebijakan bagi Lapas laki-laki dewasa, yang lebih menekankan aspek
keamanan, menjadi acuan bagi Lapas Wanita. Salah satu implementasinya adalah ditutupnya Blok dan
kamar dalam jangka waktu yang cukup lama setiap harinya. Selain mengabaikan kenyataan bahwa
tingkat pelarian Warga di Lapas Wanita sangat kecil, kebijakan ini juga merugikan para Warga Binaan
yang ingin agar anak-anaknya bisa menghirup udara di luar kamar lebih lama. Kenyataan lainnya dari
marjinalnya isu perempuan dan anak tergambar dari proses perencanaan dan penganggaran. Beberapa
kasus spesifik adalah tidak terdapatnya anggaran khusus bagi perawatan kesehatan reproduksi, belum
dipenuhinya kebutuhan obat-obatan hormonal, serta dalam tindakan medis darurat.
Jauh sebelumnya, pemerintah khususnya aparatur penegak hukum belum bisa memahami apa
yang oleh Steffensmeier dan Allan (1996) sebagai konteks sosial dan struktur masyarakat yang
melatarbelakangi terjadinya kejahatan. Banyak di antara kejahatan yang dilakukan adalah sebuah
pilihan yang sulit di tengah keputusasaan. Oleh karenanya, proses pemasyarakatan bagi perempuan
jelas harus berbeda dengan yang dominan diterapkan pada narapidana laki-laki dewasa.
Strategi kebijakan yang menekankan pada aspek keamanan yang jauh dari sensitifitas gender
juga mengurangi hak Warga Binaan perempuan untuk mendapatkan Cuti Mengunjungi Keluarga
karena kenyataan angka kembali yang rendah. Di lain pihak, kenyataan ini tidak dapat dipahami secara
sempit. Budaya Indonesia yang menempatkan beban pengasuhan dan perawatan keluarga pada
perempuanlah yang menyebabkan Warga Binaan tidak kembali setelah mendapat CMK terkait adanya
beban psikologis. Oleh karenanya upaya antisipatifnya adalah membuka ruang komunikasi yang lebih
baik dengan keluarganya.
Selain permasalahan ketika di dalam lembaga, permasalahan spesifik narapidana perempuan
juga berlanjut hingga masa bebas. Penelitian Christine Wilkinson (2004) menyimpulkan bahwa
kebutuhan-kebutuhan perempuan akan tempat tinggal, mendapatkan nafkah dan dengan demikian juga
memperoleh pekerjaan, pendidikan ketrampilan yang menunjang untuk dapat memperoleh pekerjaan
seharusnya dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum ia bebas dari penjara. Chesney-Lind dan Pasko (2004)
juga senada. Keduanya menawarkan strategi-strategi dan program-program berbasis masyarakat
sebagai upaya menurunkan jumlah perempuan di penjara dan sebagai upaya pencegahan residivisme.
Mengacu pada Studi Allegritti (2000) ada sejumlah prinsip dari program-program yang dianggap
sensitif dan responsif gender, yaitu:
- Menjamin adanya petugas yang memiliki pemahaman isu-isu perempuan dan kebutuhan
perempuan yang kompleks dan yang mengerti bagaimana mengimplementasikan pelayanan yang
sensitif gender secara praktis.
- Menjamin pemberdayaan perempuan untuk membuat keputusan atas perawatan dan perkembangan
mereka sendiri, dan untuk berpartisipasi di dalam proses pembuatan keputusan
- Menggunakan pendekatan holistik
- Mengakui bahwa stereotipe peran jenis kelamin tertentu dan peran gender yang dikonstruksi secara
sosial dapat memojokkan posisi perempuan
- Menjamin bahwa fokusnya adalah pada mengembangkan dan mengimplementasikan layanan yang
tepat dan memenuhi kebutuhan perempuan, dan bukannya memaksakan agar perempuan ‘cocok’
dengan layanan yang sudah ada sebelumnya yang hanya memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok
yang didominasi laki-laki.
Sama halnya dengan model pembinaan yang seharusnya diberikan kepada narapidana
perempuan, untuk narapidana anak juga terdapat sejumlah perkembangan internasional yang
mempengaruhinya. Di antara instrumen internasional khusus yang harus mendasari proses pembinaan
untuk anak adalah Konvensi tentang Hak-Hak Anak. Prinsip penting dalam konvensi ini adalah;
http://www.djpp.depkumham.go.id
- Negara berupaya meningkatkan pembentukan hukum, prosedur, kewenangan dan lembagalembaga
yang secara khusus berlaku untuk anak-anak yang diduga, disangka, dituduh, atau
dinyatakan melanggar hukum pidana.
- Pemeliharaan, perintah pemberian bimbingan dan pengawasan, pemberian nasehat, masa
percobaan, pemeliharaan anak, program-program pendidikan dan pelatihan kejuruan, dan
alternatif-alternatif lain di luar memasukkan anak ke dalam lembaga perawatan harus disediakan.
Mengacu pada Yablonski (2000), salah satu masalah umum yang selalu dihadapi oleh
narapidana anak adalah pendidikan. Yablonski menyimpulkan bahwa program sekolah yang efektif
dapat menjadi suatu solusi pencegahan residivisme anak-anak. Di Indonesia hak anak untuk pendidikan
di dalam lapas masih terkendala. Beberapa faktor yang menyebabkan adalah kualitas dari tenaga
pengajar, karena umumnya mereka bukan guru namun petugas lapas. Dengan kondisi demikian maka
kualitas pendidikan di Lapas sangat jauh berbeda dengan pendidikan di sekolah umum, yang pada
akhirnya mempengaruhi kualitas kemampuan lulusannya. Oleh karenanya sangat dibutuhkan pelatihan
atau pendidikan yang memperkuat kemampuan mereka untuk mengajar anak, menguasai metode
pengajaran dan penguasaan materi bidang studi.
Selain karena kualitas SDM, masih rendahnya kualitas pemenuhan hak pendidikan juga
disebabkan oleh tidak adanya dana penunjang khusus. Mata anggaran untuk lapas anak sama dengan
struktur anggaran lapas lainnya dengan tidak tersedianya secara khusus dana untuk pendidikan.
Rosenheim (2002) menjelaskan juvenile justice system merupakan seperangkat lembaga yang
membuat keputusan yang berkelanjutan dan saling berhubungan tentang intervensi negara terhadap
kehidupan anak-anak. Juvenile justice system mengacu pada polisi, pengadilan anak, petugas yang
menerima mereka masuk ke dalam sistem dan petugas probation, kejaksaan, lembaga penahanan anak,
fasilitas koreksional dan agen-agen sosial yang mengurus penempatan anak sesuai dengan perintah
pengadilan anak. Kelompok-kelompok ini tidak selalu bekerja sama dengan baik atau dengan nilai-nilai
yang sama. Beban kerja mereka berbeda-beda, demikian pula sudut pandang dan kualifikasi
profesional mereka. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi keharmonisan kerja sama kelompokkelompok
ini. Kondisi ini juga terjadi di sistem peradilan yang menangani anak di Indonesia.
Selain SDM, minimnya dana, dan lemahnya koordinasi antar sub sistem peradilan pidana,
masalah lain yang dihadapi lapas anak adalah beban kerja lapas itu sendiri yang sangat luas. Selain
menyelenggarakan pendidikan, memberikan keterampilan, juga ”menjaga” keamanan. Hal ini tentu
saja memunculkan banyak persoalan teknis. Pelayanan kesehatan-pun dalam hal ini tidak maksimal.
Padahal telah ada sejumlah peluang dalam bentuk kesepakatan bersama dengan lembaga pemerintah
terkait, namun tidak maksimal. Pengalaman Indonesia memperlihatkan untuk mengantisipasi masalah
ini sangat tergantung pada figur dari kepala lapas.
Bila dilihat dari aspek legal framework, persoalan di lapas anak dan perempuan ini berujung
pada belum adanya aturan spesifik tentang pola pembinaan khusus anak dan perempuan. Mulai dari
tingkat lembaga hingga SDM muncul kebingungan tentang bagaimana pembinaan terhadap Anak Didik
seharusnya dilakukan.
Lebih jauh lagi ketiadaan metode pembinaan khusus bagi anak, membuat petugas melakukan
pembinaan terhadap anak dengan “cara atau pengalaman pribadi masing-masing“. Antara lain dengan
menempatkan diri sebagai orang tua dengan anak atau sebagai kakak sehingga pola pembinaan identik
dengan memberikan nasehat-nasehat pada anak dan tentu saja membosankan anak. Muncie (1999)
menjelaskan bahwa penanganan anak-anak yang berhadapan dengan hukum senantiasa diwarnai
dengan kebingungan, ambiguitas dan konsekuensi-konsekuensi yang tidak terduga. Inilah yang
menjadi dasar mengapa perlu penanganan khusus bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum.
Diperlukan adanya kesadaran bahwa anak-anak membutuhkan respon yang tidak sama dengan respon
terhadap orang dewasa yang melanggar hukum.
Beberapa cara pandang dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dapat
dijeaskan sebagai berikut (Sienna dan Siegel 2001). Berdasarkan filosofi rehabilitation negara
memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak-anak sebagaimana layaknya orang tua kepada
anak-anaknya. Karena setiap anak dianggap memiliki kapasitas untuk belajar dan terutama belajar
mengubah tingkah lakunya, maka sesuai filosofi ini, penanganan anak yang berhadapan dengan hukum
dilakukan melalui upaya-upaya demi kepentingan terbaik anak. Anak-anak lebih dipandang sebagai
http://www.djpp.depkumham.go.id
korban keadaan dan lingkungan daripada sebagai pelaku. Rehabilitasi dengan demikian bertujuan
untuk mendukung dan memberikan penanganan dalam lingkup individu (Snarr, 1996), dan struktur
peradilan yang dijalankan pun lebih bersifat informal dan tertutup.
Sementara intervensi berbasis kesejahteraan dirancang untuk membantu anak-anak yang
bermasalah dan menjamin rehabilitasi dan reintegrasi mereka ke dalam masyarakat umum; intervensi
berbasis keadilan dirancang untuk memberikan hak yang sama kepada anak dengan hak yang diberikan
kepada orang dewasa; intervensi diversi dirancang untuk mencegah anak-anak melakukan pelanggaran
dan menjaga agar anak-anak tidak masuk ke dalam pengadilan atau lembaga-lembaga koreksi/custody.
Perkembangan lainnya dalam penanganan anak adalah pendekatan keadilan restoratif
(restorative justice). Pendekatan ini lebih pada upaya memperbaiki kerusakan yang terjadi akibat
adanya suatu pelanggaran, melalui upaya-upaya mediasi dan bentuk-bentuk community service atau
kerja sosial (Walgrave, 1996). Selain juga tidak bertujuan untuk menghukum atau untuk menanamkan
kembali nilai-nilai yang berlaku di masyarakat kepada pelaku pelanggaran, tetapi untuk memperbaiki
atau mengganti kerugian-kerugian atau penderitaan yang diakibatkan oleh pelanggaran yang terjadi.
Model ini sangat didukung oleh bentuk masyarakat komunitarian, yang memiliki tingkat
ketergantungan yang tinggi juga ikatan kebudayaan yang kuat. Dengan melihat karakteristik ini model
yang terakhir ini sangat mungkin diterapkan di Indonesia.
5. Kelompok Rentan Lainnya
Isu perempuan dan anak dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dewasa ini masih belum
mendapatkan perhatian khusus. Meskipun instrumen-instrumen internasional dan nasional telah
mengatur dengan jelas, serta banyaknya unsur masyarakat sipil yang mendorong isu ini masuk dalam
agenda kebijakan, namun keduanya belum cukup kuat untuk melakukan perubahan secara menyeluruh.
Dalam kenyataannya, minimnya perhatian dalam agenda kebijakan juga terjadi pada kelompok
rentan/minoritas lainnya; seperti kelompok usia tua (manula), orang cacat, serta kelompok dengan
orientasi seksual berbeda. Termasuk dalam kebijakan Sistem Pemasyarakatan, baik pada tingkat aturan
hingga teknis di unit pelaksana teknis. Instrumen internasional telah memberikan pedoman tentang hal
ini. Terkait dengan kebijakan khusus yang semestinya diberikan kepada orang cacat dan lanjut usia
didasari oleh Konvensi Internasional Hak Penyandang Cacat 2006 dan UU Nomor 4 Tahun 1997
tentang Penyandang Cacat, serta UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.
Sedangkan untuk kelompok dengan orientasi seksual berbeda dapat didasari oleh Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.
Hal yang ingin ditekankan oleh instrumen-instrumen ini adalah adanya perlakuan spesifik
terhadap kebutuhan-kebutuhan spesifik kelompok rentan dan minoritas tersebut, serta melarang adanya
tindakan-tindakan diskriminatif terlebih bila mengarah kepada penyiksaan. Terkait dengan hal ini,
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu menyusun model pembimbingan, pelayanan dan pembinaan
spesifik bagi kelompok-kelompok rentan dan minoritas ini, sebagaimana juga diperlukan terhadap anak
dan perempuan. Selain itu, Sekretariat Jenderal Departemen perlu juga merencanakan dan
menganggarkan aspek-aspek fasilitatif terkait dengan kebutuhan-kebutuhan spesifik anak, perempuan,
dan kelompok-kelompok rentan ini.
C. Catatan Reflektif
Perkembangan pemidanaan di Indonesia memperlihatkan sebuah proses yang terus mencari
bentuk. Filosofi dan model pemidanaan masa penjajahan yang sangat bersifat pembalasan dan
penciptaan rasa takut untuk tujuan eksploitasi berubah ke arah resosialisasi pada masa awal Indonesia
merdeka hingga akhirnya muncul Pemasyarakatan tahun 1964. Namun perkembangan tahun 1980-an
hingga kini memberikan indikasi jelas adanya kompleksitas hambatan dalam pelaksanaan
Pemasyarakatan sehingga sangat mungkin dipadukan dengan wacana-wacana baru dalam pemidanaan
yang lebih maju.
Terkait dengan perkembangan filosofi dalam pemidanaan, Pemasyarakatan pada dasarnya telah
sangat maju. Namun demikian, Pemasyarakatan juga perlu membuka diri terhadap perkembangan
dalam filosofi penghukuman ini. Pasca filosofi Reintegrasi Sosial, berkembang pula kemudian filosofifilosofi
alternatif dalam pemidanaan, seperti Community Based Correction dan Restorative justice.
http://www.djpp.depkumham.go.id
Kedua filosofi ini sangat terkait erat dengan tujuan-tujuan yang diharapkan oleh Pemasyarakatan itu
sendiri, yaitu mengupayakan terintegrasinya kembali narapidana dengan masyarakatnya. Kedua
filosofi, yang juga disebut sebagai model pemidanaan ini, sangat mungkin diprioritaskan pada kasus
anak dan first Offender, atau narapidana yang dengan proses formal akan pidana kurang dari satu
tahun.
Beberapa upaya konkrit yang dapat dilakukan adalah formalisasi pidana alternatif, dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, perlu dilakukan upaya kesepahaman dengan sub
sistem peradilan pidana lainnya agar beberapa alternatif dari pemenjaraan, yang sangat terkait dengan
peran polisi, jaksa, dan hakim ini dapat diwujudkan. Dalam konteks Pemasyarakatan, yang dapat
dilakukan adalah revitalisasi peran dari Bapas sebagai probation dan parole officer. Pada akhirnya,
kesuksesan dari pelaksanaan alternatif dari pemenjaraan ini akan sangat ditentukan oleh dukungan dari
masyarakat. Oleh karenanya, perlu dilakukan sosialisasi kepada publik tentang peran yang dapat
dimainkannya dalam proses pemasyarakatan.
Terkait dengan kompleksitas permasalahan Sistem Pemasyarakatan, perlu dilakukan
pembaruan. Perubahan aspek makro struktural yang dibutuhkan dalam hal ini adalah perubahan
struktur ke arah yang lebih terdesentralisasi, yang tidak hanya terbatas pada aspek teknis seperti yang
selama ini terjadi. Termasuk dalam hal ini adalah perubahan dalam proses kebijakan, perencanaan dan
penganggaran, serta inisiasi kerjasama dengan pihak ketiga. Upaya-upaya perubahan ini baru dapat
dilakukan dengan perubahan kerangka peraturan terkait dengan organisasi dan tata laksana Departemen
Hukum dan HAM, Kantor Wilayah dan Direktorat. Terkait dengan proses kebijakan, diperlukan adanya
peraturan khusus tentang proses kebijakan bottom up yang berbasis pada kebutuhan narapidana per
UPT.
Dalam hal pengawasan, diperlukan penguatan pengawasan internal oleh atasan langsung, dan
inspektorat pemasyarakatan. Selain itu, diperlukan pula penguatan pengawasan eksternal, khususnya
oleh unsur masyarakat sipil. Untuk mewujudkannya, diperlukan konsistensi penyelesaian masalah
pelanggaran administratif hingga pelanggaran pidana. Oleh karenanya diperlukan transparansi dalam
proses pemeriksaan dan penindakan. Diperlukan pula laporan secara berkala kepada publik oleh
inspektorat. Sementara untuk pengawasan eksternal, diperlukan aturan yang menjamin kunjungan
berkala untuk pengawasan eksternal.
Terkait dengan upaya mewujudkan sinkronisasi kerja antar sub sistem peradilan pidana,
diperlukan aturan pada level Undang-Undang, sehingga benar-benar terwujud apa yang disebut dengan
Integrated Criminal Justice System. Untuk jangka pendek, dapat dibuat kesepahaman antara sub-sub
sistem peradilan pidana tentang sinkronisasi kerja, khususnya untuk mendukung pemasyarakatan
sebagai tujuan pemidanaan. Keberadaan aturan ini sekaligus menegaskan bahwa pemasyarakatan
bukanlah hanya penghujung dari peradilan pidana, namun sudah mulai berperan saat proses praajudikasi.
Pada tingkat teknis, masing-masing sub sistem peradilan pidana dapat mengoptimalkan
kewenangan diskresi atau diversi yang dimiliki untuk mengurangi kecenderungan memenjarakan
sebanyak mungkin orang. Terlebih terhadap first offender dan anak, serta terpidana perempuan yang
memiliki tanggungan.
Sementara itu, terkait dengan isu perempuan dan anak dalam sistem pemasyarakatan, saran
berada dapat berada di level makro hingga mikro. Pada level makro, aspek yang berperan, pertama
adalah nilai, prinsip, dan filosofi tentang pengarusutamaan gender dan kepentingan anak. Kedua,
aturan-aturan yang diperlukan untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut. Termasuk dalam
hal ini diperlukannya peraturan khusus tentang proses pemasyarakatan khusus anak dan perempuan.
Pada level mikro, aspek yang berperan adalah diperlukannya aturan-aturan pelaksanaan tentang proses
pemasyarakatan anak dan perempuan. Selain itu, pada level ini diperlukan pula intersifikasi serta
diversifikasi pola dan substansi pembinaan bagi anak dan perempuan, dengan catatan harus berbasis
pada kebutuhan spesifk anak dan perempuan.

BAB III
HUBUNGAN SISTEM PEMASYARAKATAN DENGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM
LAINNYA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU
A. Pelaksanaan Misi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu
1. Uraian mengenai Kondisi Obyektif dan Tinjauan Normatif
Cara pandang kedepan terkait dengan pembaruan Pemasyarakatan, idealnya ditempatkan dalam
kerangka bekerjanya sistem peradilan pidana terpadu, dimana pada konteks tersebut akan
mengindikasikan bahwa permasalahan-permasalahan pada sub sistem pemasyarakatan harus
direspon pula oleh sub sistem peradilan pidana yang lain. Bekerjanya institusi-institusi penegak
hukum dalam kerangka sistem yang terpadu, didasari oleh konsepsi teori sistem yang menjelaskan
bahwa sistem merupakan suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi.
Pendekatan sistem mengandung implikasi adanya suatu proses interaksi. Terkait dengan kesatuan
interaksi tersebut, akan menempatkan ruang relasi masing-masing elemen dalam satu satu kesatuan
hubungan yang satu sama lainnya saling bergantung (interdependent). Sebagai satu kesatuan maka
suatu sistem tidak dapat dikenali jika ia dipisahkan atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan
kesatuan tersebut. Jelas dalam konteks sistem peradilan pidana, Pemasyarakatan sebagai intitusi
yang terintegrasi dengan sub sistem lainnya – yakni Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, dan
Advokat -, memiliki bobot dan peran yang sama dalam bekerjanya sistem, sesuai dengan proporsi
fungsi dan tugasnya sebagaimana telah diatur melalui peraturan perundang-undangan. Konteks
tersebut menegaskan bahwa sistem peradilan pidana terpadu merupakan hasil interaksi antara
peraturan perundang-undangan, praktik administrasi, berikut sikap tindak penegak hukum dan
masyarakat. Pada titik inilah misi pemasyarakatan penting untuk ditempatkan dalam jaring relasi
pada sistem peradilan pidana terpadu, sebagaimana dirumuskan melalui Rencana Strategis
Pembangunan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tahun 2004 – 2009, yakni ; melaksanakan
perawatan tahanan, pembinaan dan pembimbingan warga binaan Pemasyarakatan serta pengelolaan
benda sitaan negara dalam rangka penegakan hukum, pencegahan, dan penanggulangan kejahatan
serta pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.
Dalam konteks interaksi tersebut, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan yang
menggunakan hukum pidana materiil dan formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Sedangkan
makna terpadu dalam sistem peradilan pidana didasarkan pada sinkronisasi dan keselarasan dalam
hubungan antar lembaga penegak hukum, substansi dalam hukum positif (baik secara vertikal
maupun horizontal), dan aspek kulturalnya dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap
dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari berjalannya sistem peradilan pidana. Nilai-nilai
dasar yang menjadi prinsip dari pendekatan sistem peradilan pidana yakni :
a. menitikberatkan pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana
(Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Pemasyarakatan, serta Advokat);
b. menekankan adanya pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh seluruh
komponen yang terlibat dalam sistem peradilan pidana;
c. menempatkan efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama daripada efisiensi
penyelesaian perkara;
d. mengoptimalkan penggunaan hukum sebagai instrumen dalam rangka untuk
memantapkan administrasi peradilan pidana.
Dalam sistem peradilan pidana yang terpadu diupayakan untuk dapat meminimalisir adanya ego
sektoral antar institusi penegak hukum. Bahwa konsep terpadu menegaskan meskipun setiap
institusi memiliki fungsi yang berbeda-beda dan berdiri sendiri tetapi harus mempunyai satu tujuan
/ persepsi yang sama sehingga merupakan satu kekuatan yang utuh yang saling mengikat erat dari
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan. Pada titik inilah konsep sistem
Pemasyarakatan penting untuk diketahui oleh setiap aparat penegak hukum, sehingga dalam
menjalankan peran dan fungsinya sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu dapat
menyelaraskan konsep Pemasyarakatan disetiap tindakan/ keputusan yang dihasilkan, dimana lebih
khusus lagi pada kebijakan-kebijakan yang memiliki kaitan langsung dengan tugas dan fungsi
Pemasyarakatan .
Pemikiran-pemikiran yang berkembang tentang konsep Pemasyarakatan dan sistem peradilan
pidana yang telah diuraikan tersebut diatas tidak seluruhnya dapat ditampung dalam peraturan
perundang-undangan yang saat ini berlaku maupun regulasi-regulasi ditiap-tiap lembaga. Hal ini
menunjukkan terjadinya kesenjangan antara dinamisnya perkembangan pemikiran dengan hukum
(dalam arti sempit : peraturan perundang-undangan). Misalnya Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) pada Buku Satu yang mengatur mengenai Aturan Umum tidak menguraikan tujuan
pemidanaan, padahal di buku satu tersebut memuat asas-asas hukum pidana nasional yang secara
teoritis/ normatif menjadi acuan dalam operasionalisasi hukum pidana. Dalam perkembangannya
saat ini RUU KUHP telah mencantumkan adanya tujuan pemidanaan yang didalamnya memuat
lima tujuan yaitu : Pertama, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat; Kedua, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang baik da berguna; Ketiga, menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; Keempat, membebaskan rasa bersalah pada teridana; dan Kelima, memaafkan
terpidana. Selanjutnya dinyatakan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia (Lihat Pasal 54 RUU KUHP). Melihat ketentuan tujuan
pemidanaan yang dirumuskan dalam RUU KUHP, disimpulkan bahwa konsepsi pemasyarakatan
telah diadopsi dalam ketentuan hukum pidana yang akan berlaku dimasa mendatang. Hal lain yang
perlu dijadikan bahan rujukan terkait dengan tujuan pemidanaan dan proses implementasi hukum
pelaksanaan pidana adalah, peradilan pidana khusus anak yang saat ini tengah dibahas, dimana
Bapas memiliki kedudukan yang signifikan dalam proses peradilan pidana sejak penyidikan hingga
tahapan pelaksanaan pidananya.
Pada dataran hukum proseduralnya, Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), yang menjadi sarana untuk mengikat institusi yang terkoneksi dengan sistem
peradilan pidana di Indonesia, sangat minim menempatkan peran Pemasyarakatan dalam bekerjanya
peradilan pidana. Dalam KUHAP peran Pemasyarakatan dimuat pada pasal-pasal mengenai
penahanan (Pasal 22) dan mengenai pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan
(khususnya Pasal 281 dan Pasal 282). Selain KUHAP dalam Peraturan pemerintah Nomor 27 tahun
1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, memuat aturan mengenai
Rumah Tahanan Negara (Pasal 18 sampai dengan Pasal 25) dan mengenai Rumah Penyimpanan
Benda Sitaan Negara (Pasal 26 sampai dengan Pasal 34). Sedangkan Balai Pemasyarakatan
eksistensinya ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang memuat peran dan fungsi Pemasyarakatan
dalam sistem peradilan pidana Indonesia menunjukkan belum memadai khususnya dalam hal
menjalin keterhubungan dan bagaimana mengelola kewenangan diantara sub sistem. Kondisi
tersebut jika tidak diperhatikan dengan cermat dapat mengakibatkan degradasi muatan konsep
sistem peradilan pidana terpadu menjadi hanya sebagai proses peradilan pidana semata. Mengingat
bahwa sistem peradilan pidana mensyaratkan interkoneksi antar setiap instansi yang terlibat dalam
proses peradilan, bukan relasi yang parsial/ sektoral.
http://www.djpp.depkumham.go.id
2. Uraian mengenai Permasalahan-Permasalahan
Konteks permasalahan yang mendasar dihadapi oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan
baik UPT Balai Pemasyarakatan, UPT Rumah Tahanan Negara, UPT Rumah Penyimpanan Benda
Sitaan Negara, maupun UPT Lembaga Pemasyarakatan dalam pelaksanaan misi Pemasyarakatan
adalah belum terpahaminya konsep dan misi Pemasyarakatan pada lembaga penegak hukum
lainnya, sehingga memberikan kecenderungan atas ketidakoptimalan bekerjanya sistem
Pemasyarakatan dalam tata peradilan pidana. Permasalahan tersebut dapat menjelaskan realitas
hubungan antara lembaga-lembaga yang bernaung dalam sistem peradilan pidana yang masih
menunjukkan hubungan yang kurang sinergis, khususnya dalam hal interkoneksi diantara sub
sistem peradilan pidana. Terkait dengan tugas-tugas Kepolisan dibidang penyidikan, Kejaksaan
dibidang penuntutan (dan penyidikan), serta Pengadilan (hakim) dalam pemeriksaan dipersidangan,
terdapat beberapa kondisi yang kurang kondusif yang berimplikasi pada tidak maksimalnya
pelaksanaan misi Pemasyarakatan. Uraian dalam bagian ini akan memaparkan permasalahanpermasalahan
UPT-UPT Pemasyarakatan dalam rangka pelaksanaan misi Pemasyarakatan terkait
dengan berkerjanya sistem peradilan pidana.
Fenomena over kapasitas diberbagai UPT Pemasyarakatan (Rumah Tahanan Negara dan Lembaga
Pemasyarakatan), merupakan salah satu gejala nyata tidak adanya sinergitas dalam bekerjanya
sistem peradilan pidana. Dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu, masing-masing lembaga
penegak hukum tidak bisa menafikan permasalahan yang dihadapi oleh lembaga penegak hukum
lainnya yang secara langsung atau tidak diakibatkan oleh kebijakan salah satu lembaga. Sebagai
contoh adalah proses hukum terhadap tindak pidana narkotika dan obat terlarang yang semakin
menunjukkan kecenderungan angka yang meningkat secara signifikan divonis pidana penjara.
Jumlah Tahanan dan Narapidana Narkotika dan Obat-obatan Terlarang di Rutan dan Lapas
se Indonesia
jumlah 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
(februari)
napi/ tahanan 67.960 71.587 88.887 88.707 112.774 127.238 131.339
napi/tahanan narkotika 7.211 11.973 17.060 21.082 32.067 38.172 37.867
Data : diolah dari Presentasi Direktur Bina Khusus Narkotika dalam Rakernis Ditjen PAS 2008
Jumlah tahanan dan narapidana dalam perkara tindak pidana narkotika dan psikotropika dalam tabel
tersebut diatas semakin menunjukkan trend kenaikan. Padahal perlu dipahami bahwa tidak semua
terdakwa dalam perkara tindak pidana narkotika dan obat terlarang harus dipidana dengan hukuman
penjara. Pemilahan terhadap pelaku tindak pidana dengan dasar pertimbangan tertentu (misalnya ;
anak-anak atau status sebagai pengguna narkotika dan obat terlarang) tidak dilakukan, padahal
pihak yang terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan mengetahui permasalahanpermasalahan
kelebihan kapasitas yang terdapat di Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan
Negara. Beberapa hal yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana narkotika dan psikotropika,
memang terdapat problem yuridis-normatif dimana dalam Pasal 64 Undang-undang Nomor 22
tahun 1997 tentang Narkotika dan Pasal 58 Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang
Psikotropika, memerintahkan bahwa yang terkait dengan ketentuan pidana di undang-undang
tersebut termasuk perkara yang didahulukan dari perkara tindak pidana lainnya untuk diajukan ke
pengadilan. Namun sebaliknya, patut dicermati pula bahwa dalam memeriksa perkara untuk
pecandu narkotika, Pasal 47 menyatakan bahwa hakim dapat memutuskan atau menetapkan yang
bersangkutan untuk menjalani pengobatan/ perawatan. Dengan kondisi warga binaan yang melebihi
kapasitas tersebut, tugas dan fungsi pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan menjadi tidak
maksimal. Hal ini terbukti dengan kecenderungan banyaknya warga binaan Pemasyarakatan dalam
perkara tindak pidana narkotika dan obat terlarang, dimana kualifikasinya sebagai pengguna
semestinya mendapatkan rehabilitasi atau penyembuhan secara medis bukan sebagai narapidana di
lembaga Pemasyarakatan.
http://www.djpp.depkumham.go.id
Kecenderungan saat ini menunjukkan bahwa pendekatan sistem yang telah coba dibangun dasardasarnya
dalam KUHAP tidak berjalan dan berkembang secara memadai dalam praktik peradilan
pidana selama ini. Sistem peradilan pidana menekannya suatu sistem yang menjangkau sebagai
sarana siasat pencegahan kejahatan. Tidak semua perkara harus masuk hingga proses persidangan
dimuka pengadilan, untuk itu sistem harus bekerja untuk menyeleksinya. Sebagaimana telah
diuraikan dalam bagian awal, bahwa dalam sistem peradilan pidana pemidanaan bukanlah
merupakan tujuan akhir dan bukanlah satu-satunya cara untuk mencapai tujuan.
UPT Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, yang eksistensinya diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP sebagai lembaga yang memiliki
kewenangan atas penyimpanaan benda sitaan dan rampasan. Dimana melalui Peraturan Menteri
Kehakiman Nomor : M.05.UM.01.06.Tahun 1983 telah dijabarkan mengani pengelolaan benda
sitaan dan rampasan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara yang kemudian dijabarkan lagi
dalam petunjuk Teknsinya melalui Surat Keputusan Dirjen Pemasyarakatan Nomor :
E1.35.PK.03.10 Tahun 2002. Dalam hal kerjasama antar negara, terkait dengan fungsi UPT Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan Negara, melalui Undang-undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan
Timbal Balik dalam Masalah Pidana dinyatakan pada Pasal 45 ayat (1) sebagai lembaga yang
berwenang untuk menyimpan barang, benda, atau harta kekayaan sitaan hasil dari tindak pidana
yang berdimensi lintas negara. Dalam praktiknya banyak ditemukan permasalahan bahwa
penyimpanan benda sitaan dan rampasan dalam proses pidana tidak diserahkan atau setidaknya
dilaporkan/ informasikan kepada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara. Kondisi ini
menunjukkan masih kurangnya pemahaman terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan
lemahnya koordinasi antar aparat penegak hukum lainnya khususnya ditingkat penyidikan dan
penuntutan.
Mengenai kedudukan Cabang Rumah Tahanan Negara di Kepolisian dan Kejaksaan saat ini masih
kurang menempatkan Pemasyarakatan pada porsi kedudukannya yang memiliki kewenangan dalam
pengawasan dan pembinaan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 pasal 18
ayat (2) menegaskan bahwa semua Cabang Rumah Tahanan Negara adalah dibawah pengawasan
dari Rumah Tahanan Negara mengingat pembentukan Cabang Rumah Tahanan Negara dibentuk,
diangkat, dan diberhentikan oleh Menteri. Kedepan dengan penambahan dari segi jumlah Rumah
Tahanan Negara selain diperlukan penguatan koordinasi dengan instansi Kepolisian dan Kejaksaan,
secara bertahap diharapkan keberadaan Cabang Rumah Tahanan Negara diluar lingkungan
Pemasyarakatan sudah tidak diperlukan lagi/ dihapuskan. Hal tersebut juga berlaku pada Cabang
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, kedepan dengan meningkatkan kualitas layanan dalam
perawatan – pengelolaannya serta penambahan dari segi jumlah Rumah Penyimpanan Benda Sitaan
Negara diharapkan keberadaan Cabang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara diluar
lingkungan Pemasyarakatan sudah tidak diperlukan lagi/ dihapuskan. Kedudukan Rumah Tahanan
dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara sebagaiamana diatur melalui peraturan perundangundangan
tersebut, hakikatnya adalah untuk menekankan pada penerapan sistem pengawasan/
kontrol lintas aparatur penegak hukum untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan
dalam jaring administrasi peradilan pidana.
Pada tingkatan UPT Lembaga Pemasyarakatan, kemacetan dalam pelaksanaan pengawasan dan
pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan oleh Hakim Pengawas dan Pengamat menunjukkan
lemahnya koordinasi diantara Pemasyarakatan dengan Pengadilan. Padahal bagian tersebut
membawa semangat baru dalam konsep dan ruang operasionalisasi sistem peradilan pidana. Dalam
KUHAP itu sendiri diatur hubungan yang timbal balik diantara Kepala Lembaga Pemasyarakatan
dengan Hakim Pengawas dan Pengamat. Dalam pasal 280 Hakim Pengawas dan Pengamat
memiliki jangkauan tugas pengawasan untuk memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan
telah dijalankan sebagaimana mestinya. Demikian pula Kepala Lembaga Pemasyarakatan dalam
http://www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 281 KUHAP, atas permintaan Hakim Pengawas dan Pengamat, menyampaikan informasi
secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam
pengamatan hakim. Mahkamah Agung sendiri, sebenarnya telah menghasilkan beberapa surat
edaran yang terkait dengan petunjuk pelaksnaan bagi hakim pengawas dan pengamat, yakni Surat
Edaran Nomor 3 tahun 1984 tentang Pelaksanaan Tugas Kimwasmat dan Surat Edaran Ketua MA
Nomor 7 tahun 1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat. Melalui
berbagai peraturan dan petunjuk pelaksanaan tersebut revitalisasi kelembagaan Hakim Pengawas
dan Pengamat terrsebut dirasakan sangat penting untuk menjadi agenda perbaikan dan pembaruan
bekerjanya sistem peradilan pidana terpadu.
Permasalahan lain yang terdapat sehubungan bekerjanya sistem Pemasyarakatan yang juga patut
dikaitkan dengan relasi antar sub sistem peradilan pidana adalah mengenai kebuntuan-kebuntuan
aspek teknis administrasi (administrasi peradilan pidana) yang diakibatkan adanya kekosongan
maupun kekurangjelasan aturan dalam peraturan perundang-undangan. Permasalahan prosedural
menyangkut upaya-upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana (grasi) terkait dengan pelaksanaan
eksekusi mati, dimana secara teoritik sebenarnya dapat dipecahkan dengan koordinasi antar institusi
yang terkait. Karena ketidakpastian akan mempengaruhi pula tugas-tugas Pemasyarakatan, seperti
pembinaan dan pembimbingan. Sebagai satu sistem diatas kertas seharusnya kebuntuan-kebuntuan
yang diakibatkan peraturan perundangan dapat dipecahkan melalui kerjasama dan koordinasi.
Mengingat permasalahan yang terkait dengan hal-hal yang bersifat prosedural dapat dipecahkan
melalui atuan-aturan teknis yang disepakati oleh masing-masing institusi.
3. Saran Tindak
a. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan penting mendorong adanya desk khusus yang
dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melakukan sinkronisasi
dan harmonisasi peraturan perundang-udangan maupun relasi lintas institusi yang terkait dengan
bekerjanya sistem peradilan pidana.
b. Direktorat Jenderal Pemasyrakatan perlu merumuskan pokok-pokok pikiran dan usulan
rekomendasi terkait dengan perbaikan peraturan perundang-undangan yang dapat menempatkan
lembaga-lembaga penegak hukum sebagai kesatuan elemen dari sistem peradilan pidana yang
terpadu. Penyempurnaan terhadap KUHP, KUHAP, dan Undang-undang Pengadilan Anak
seharusnya menjadi prioritas; perlu dipertimbangkan pula adanya Undang-undang yang
mengatur secara khusus mengenai bekerjanya sistem peradilan pidana yang terkait dengan
pembagian fungsi dan kewenangan masing-masing lembaga; perubahan Undang-undang
tentang Pemasyarakatan terkait dengan penguatan posisi Pemasyarakatan dalam sistem
peradilan pidana; dan peninjauan kembali terhadap pasal-pasal tertentu atas undang-undang
yang berpotensi untuk memidanakan orang dengan pidana penjara dan berimplikasi terhadap
fenomena over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (seperti Undang-undang Nomor 22 tahun
1997 tentang Narkotika dan Undang-undang Nonor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika serta
undang-undang lainnya yang dapat memicu over kapasitas).
4. Indikator Keberhasilan
a. Terbentuknya Desk Khusus Koordinasi Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, yang
terdiri setidaknya Mahkamah Agung Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, KPK, dan Komnas
HAM yang dikoordinasikan oleh Kementrian Menteri Hukum dan HAM.
b. Konsep dan Misi Pemasyarakatan dapat diadopsi secara utuh dalam KUHP, KUHAP, dan UU
Peradilan Pidana Anak yang baru. Dalam KUHP materi mengenai tujuan pemidanaan, pedoman
pemidanaan dan jenis-jenis pidana yang berorientasi selaras dengan konsep Pemasyarakatan.
Sedangkan dalam KUHAP memuat kedudukan Balai Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara,
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai lingkup
http://www.djpp.depkumham.go.id
kewenangan Pemasyarakatan sesuai dengan fungsinya dalam sistem peradilan terpadu.
c. Tersusunya Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang tentang Sistem Peradilan Pidana
Terpadu.
d. Tersusunya Perbaikan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang tentang Sistem
Pemasyarakatan
e. Tersusunya pokok-pokok pikiran dan rekomendasi perbaikan terhadap berrbagai undang-undang
yang memiliki kecenderungan untuk memicu over kapasitas
B. Petugas Pemasyarakatan dan Bekerjanya Administrasi Peradilan Pidana.
1. Uraian mengenai Kondisi Obyektif dan Tinjauan Normatif
KUHAP sebagai hukum pidana formil/ prosedural memiliki peran untuk menjadi jembatan yang
menghubungkan bekerjanya masing-masing sub sistem peradilan pidana. Dalam hukum acara yang
diatur di KUHAP terdapat empat tahapan pelaksanaan beracara : yakni pertama, tahap penyelidikan
dan penyidikan yang dilakukan oleh Polisi; kedua, tahap penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa;
ketiga, tahap pemeriksaan didepan sidang pengadilan; dan keempat, tahap pelaksanaan putusan
pengadilan oleh Jaksa serta Lembaga Pemasyarakatan dibawah pengawasan Ketua Pengadilan.
Dalam pentahapan dan pembagian kewenangan dimasing-masing tahapan pelaksanaan beracara
menandakan garis kebijakan KUHAP sebagai mekanisme yang terpadu dalam operasionalisasi
administrasi peradilan pidana.
Dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada Pasal 8 disebutkan
bahwa Petugas Pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan
tugas dibidang pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga pembinaan Pemasyarakatan.
Sebagai pejabat fungsional penegak hukum, Petugas Pemasyarakatan terikat untuk menegakkan
integritas profesi dalam pelaksanaan misi Pemasyarakatan. Penegakan atas integritas profesi
Petugas Pemasyarakatan tersebut meliputi fungasi dan tugas dalam rangka pelayanan di Rumah
Tahanan, pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, pembimbingan melalui Bapas, dan pengelolaan
di Rumah penyimpanan Benda Sitaan Negara.
Dalam konteks pelaksanaan misi Pemasyarakatan tersebut menempatkan posisi petugas
Pemasyarakatan dalam lintas relasi yang setara merupakan prasyarat berjalannya sistem peradilan
pidana yang terpadu. Kondisi saat ini dirasakan oleh Pemasyarakatan dalam upaya pelaksanaan
misi Pemasyarakatan belum mendapatkan apresiasi dan penghormatan yang memadai dari
lingkungan penegak hukum lainnya. Pemasyarakatan diposisikan hanya sebagai ujung dari proses
peradilan pidana yang berjalan. Dalam konteks normatif memang terdapat permasalahan yang
cukup krusial mengenai posisi Pemasyarakatan yang ditempatkan sebagai bagian akhir dari sistem
pemidanaan pada tata peradilan pidana. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 1 Undang-undang
tentang Pemasyarakatan. Namun jika menengok tugas pokok dan fungsi Pemasyarakatan dalam
undang-undang tersebut, maka sebenarnya penempataan Pemasyarakatan sebagai ujung akhir dari
sistem peradilan pidana sangat tidak tepat, mengingat Pemasyarakatan telah berperan sejak awal
pada saat proses peradilan pidana mulai bekerja. Dengan kondisi ini tentunya diperlukan penguatan
posisi Pemasyarakatan ditengah-tengah bekerjanya sistem peradilan pidana.
2. Uraian mengenai Permasalahan-Permasalahan
Berdasarkan KUHAP serta berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
administrasi peradilan pidana, Petugas Pemasyarakatan telah bekerja untuk menjalankan fungsinya
http://www.djpp.depkumham.go.id
sejak pra adjudikasi, adjudikasi, dan post adjudikasi. Balai Pemasyarakatan dalam Undang-undang
Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 34, menunjukkan peran Pembimbing
Kemasyarakatan disemua lini tahapan proses penanganan perkara pidana, baik ditingkat penyidikan,
penuntutan, putusan, hingga pelaksanaan putusan. Posisi Rumah Penyimpanan benda Sitaan
Negara, yang berwenang secara fisik dan administratif juga mencakup tahapan pra adjudikasi
hingga post adjudikasi. Peran dan fungsi Balai Pemasyarakatan, Rumah Penyimpanan Benda
Sitaan Negara, dan Rumah Tahanan Negara menguatkan kedudukan Pemasyarakatan bukan sebagai
akhir dari proses peradilan pidana. Dalam bekerjanya sistem peradilan pidana garis koordinasi dan
interkoneksi antar lembaga penegak hukum untuk melaksanakan tahapan acara pidana
menunjukkan diferensiasi fungsional dari masing-masing lembaga. Pada titik ini terdapat
kerentanan terjadinya ego sektoral dari masing-masing lembaga. Terdapat kecenderungan dalam
praktik selama ini Pemasyarakatan kurang memiliki kekuatan tawar yang kuat terhadap tiga
institusi lainnya, Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.
Permasalahan umum yang seringkali di hadapi oleh Balai Pemasyarakatan adalah mengenai
kedudukan Pembimbing Kemasyarakatan dalam proses pemeriksaan dimuka sidang yang kurang
ditempatkan sebagai faktor penting untuk memberikan pertimbangn /masukan bagi penuntut umum
dan hakim dalam perumusan dakwaan dan tuntutan serta penyusunan putusan pengadilan. Dalam
Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 55 dan 56 ditegaskan bahwa
Pembimbing Kemasyarakatan wajib hadir di persidangan. Melalui pasal tersebut dinyatakan pula
hakim wajib memberikan kesempatan bagi Pembimbing Kemasyarakatan untuk menyampaikan
penelitian kemasyarakatan sebelum sidang dibuka. Dalam praktiknya, kedudukan Balai
Pemasyarakatan selaku Pembimbing Kemasyarakatan tidak ditempatkan pada porsi yang sepatutnya
untuk memberikan masukan substansi (rekomendasi penanganan anak yang bermasalah dengan
hukum) bagi penyusunan dakwaan/ tuntutan dan putusan. Ada dua faktor penting yang menjadikan
kondisi tersebut, yakni Penyidik, Penuntut Umum, serta Hakim yang tidak melihat signifikansi
peran dan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan dan/ atau faktor kualitas hasil penelitian
kemasyarakatan yang kurang memadai sehingga masukan dari Pembimbing Kemasyarakatan tidak
dipertimbangkan dalam proses penanganan perkara pidana.
Permasalahan umum yang dihadapi oleh UPT Rumah Tahanan Negara adalah mengenai surat
penahanan yang telah habis/ perlu perpanjangan surat penahanan namun tidak bisa berjalan secara
baik karena tidak adanya koordinasi yang baik dengan pihak kepolisian. Hal yang sama juga terjadi
dalam tahap penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan hingga putusan. Pada tahapan
pemeriksaan dimuka sidang terkait dengan ekstrak vonis, yang tidak diterima seketika oleh UPT
Rumah Tahanan Negara setelah terdakwa menjadi terpidana. Dalam KUHAP sendiri Pasal 200
mengharuskan surat putusan untuk ditanda tangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan
diucapkan, hal ini dimaksudkan agar ketentuan tersebut memberikan kepastian bagi terdakwa.
Khusus untuk terdakwa yang diputus bebas atau dilepas dari segala tuntutan Mahkamah Agung
melalui SEMA Nomor 5 tahun 2001 telah memerintahkan Pengadilan Negeri untuk terdakwa segera
dikeluarkan dari tahanan pada saat putusan dibacakan dan pada saat itu telah ada setidak-tidaknya
ringkasan putusan (extract vonis).
Penekanan proporsi fungsi dan peran diantara subsistem peradilan pidana, terkait dengan Petugas
Pemasyarakatan di Rumaha Tahanan Negara maupun di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara
adalah pembagian tanggung jawab yang menurut Peraturan pemerintah Nomor 27 tahun 1983
dibedakan menjadi dua yakni tanggung jawab yuridis dan tanggung jawab fisik. Tanggung jawab
secara fisik terhadap tahanan dan benda sitaan/ rampasan menurut peraturan adalah menjadi
tanggungjawab dari Pemasyarakatan (Petugas Pemasyarakatan). Hal tersebut diatur dalam Pasal 21
ayat (2) dan (3) untuk Rumah Tahanan Negara dan Pasal 30 ayat (2) dan (3) untuk Rumah
penyimpanan Benda Sitaan Negara.
http://www.djpp.depkumham.go.id
Lebih lanjut, berkenaan dengan hubungan Rumah Tahanan Negara dengan Cabang Rumaha
Tahanan Negara dalam Pasal 38 ayat (3) KUHAP memerintahkan Kepala Cabang Rutan untuk
memberikan laporan bulanan tentang tahanan kepada Kepala Rutan. Untuk itulah dalam penegasan
penguatan posisi Pemasyarakatan, penting untuk dilakukan langkah-langkah khusus mengenai
pengawasan dan pembinaan tahanan di cabang rumah tahanan yang ada di Kepolisian dan
Kejaksaan agar terjadi sinergitas dalam menjalankan sistem administrasi peradilan pidana yang
menempatkan hukum dan hak asasi manusia sebagai standart bersama. Hal yang sama juga berlaku
pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, melalui pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 27 tahun 1983 juga menegaskan kedudukan Cabang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan
Negara yang dibentuk oleh Menteri. Pasal 39 ayat (3) memeintahkan bahawa sebelum dibentuk
Rumah penyimpanan Benda Sitaan negara penyimpanan benda sistaan yang dilakukan di
Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan harus melaporkannya kepada Direktur Jenderal
Pemasyarakatan tiap enam bulan sekali.
Hal lain yang perlu dikemukakan adalah adanya aspirasi dikalangan Pemasyarakatan untuk
menambah kewenangan petugas Pemasyarakatan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Kewenangan penyidikan tersebut tersebut dimaksudkan hanya terbatas pada perkara pidana yang
melibatkan narapidana yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara.
Kewenangan sebagai PPNS tentunya memiliki spesifikasi dan kualifikasi terentu, sehingga tidak
semua petugas Pemasyarakatan adalah sebagai penyidik PPNS. Pembatasan jumlah penyidik
tersebut bisa juga dilakukan dengan cara pemusatan Penyidik PPNS di Direktorat Jenderal atau
pembatasan dari segi jumlah pada setiap UPT atau Penyidik PPNS tersebut berada dibawah
koordinasi dari Kadiv Pemasyarakatan di Kantor Wilayah. Dalam kerangka kerjasama dengan
institusi Penyidik, pelaksanaannya selama ini didalam Lembaga Pemasyarakatan juga telah
dibentuk Polisi Khusus Lembaga Pemasyarakatan dimana secara teknis telah bekerjasama dengan
Kepolisan melalui nota kesepahaman yang disusun dengan Pemasyarakatan.
3. Saran Tindak
a) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu membentuk kelompok kerja untuk menyusun
rancangan dokumen kebijakan yang isinya adalah mengarahkan UPT Balai Pemasyarakatan
untuk mendorong peran aktif Pembimbing Kemasyarakatn untuk terlibat dalam tahap pra
adjudikasi, adjudikasi, dan post adjudikasi dalam proses pemeriksaan perkara pidana;
b) Direktorat Jenderal perlu membentuk kelompok kerja untuk menyusun rancangan naskah
kebijakan mengenai pengelolaan Cabang Rumah Tahanan Negara dan Cabang Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan Negara yang berada di institusi Kepolisian, Kejaksaan, dan
Pengadilan.
c) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu membentuk kelompok kerja untuk merumuskan
kebijakan yang dapat mendorong keterpaduan bekerjanya administrasi peradilan pidana dan
pengembangan kerjasama lintas institusi yang diinisiasi oleh UPT Pemasyarakatan dalam
kaitannya dengan persinggungan antara tugas-fungsi Pemasyarakatan dengan Kepolisian,
Kejaksaan, dan Pengadilan. Misalnya kerjasama dan koordinasi terkait dengan adminitrasi
tahanan/ registrasi dalam konteks tukar-menukar data kriminal (data sidik jari dan identitas
tersangka), pengeluaran tahanan demi hukum, serta mengenai ekstrak vonis yang dapat
disederhanakan lagi dengan berita acara yang tentunya akan memudahkan administasi
peradilan pidana ditingkat UPT Pemasyarakatan.
d) Pentingnya kajian mengenai signifikansi penambahan kewenangan Petugas Pemasyarakatan
sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
4. Indikator Keberhasilan
a) Dikeluarkannya Surat Keputusan Dirjen Pemasyarakatan tentang Penguatan Peran Pembimbing
Kemasyarakatan dengan lampiran berupa pedoman kerja pelaksanaan tugas Pembimbing
Kemasyarakatan.
b) Tersusunnya Naskah Akademis Usulan Perumusan Kebijakan Pengelolaan Rumah Tahanan
Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Departemen Hukum dan HAM
c) Tersusunnya Rancangan Peraturan Menteri mengenai Pengeluaran Tahanan Demi Hukum dan
Rancangan Peraturan Menteri mengenai Pengelolaan Data Kriminal.
d) Tersusunnya naskah akademik atau kertas kerja mengenai kajian penambahan kewenangan
Petugas Pemasyarakatan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

BAB IV
TINJAUAN MANAJEMEN ORGANISASI
Penyelenggaraan kegiatan Pemasyarakatan dalam struktur birokrasi Departemen Hukum dan HAM
dilaksanakan oleh tiga jenjang, pertama oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, kedua oleh Kantor
Wilayah Departemen Hukum dan HAM melalui Kepala Divisi Pemasyarakatan dan ketiga oleh Unit
Pelaksana Teknis (UPT) yang terdiri dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Rumah Tahanan (Rutan),
Balai Pemasyarakatan (Bapas) dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). Aturan
mengenai organisasi dan tata kerja dari ketiga jenjang tersebut adalah sebagai berikut:
- Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan diatur dalam
Peraturan Menteri Hukum Dan Ham R.I Nomor: M.09-PR.07.10 Tahun 2007 Tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Hukum Dan HAM R.I
- Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM
diatur dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor :
M – 01.PR.07.10 Tahun 2005 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen
Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
- Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja Lembaga Pemasyarakatan diatur dalam
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 Tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan
- Ketentuan mengenai Organisasi dan Tata Kerja Balai Pemasyarakatan diatur dalam Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1997 Tentang
Perubahan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02.PR.07.03 Tahun
1987 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Balai Bimbingan Kemasyarakatan Dan Pengentasan
Anak
- Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja Rumah Tahanan Negara dan Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan Negara diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor M.04.PR.07.03 Tahun 1985 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Rumah
Tahanan Negara Dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara
A. Struktur Organisasi Pemasyarakatan Dalam Hubungannya Dengan Perangkat Organisasi
Lainnya Di Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia
1. Kondisi Normatif, Empiris Dan Permasalahannya
Pada dasarnya organisasi diarahkan untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif melalui
kegiatan yang terpadu (J. Winardi, Pemikiran Sistemik Dalam Bidang Organisasi dan Manajemen :
2005). Namun hal tersebut belum sepenuhnya terlaksana di Departemen Hukum Dan HAM bila
dihubungkan dengan tata struktural antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas), Kantor
Wilayah Departemen Hukum dan HAM (Kanwil) dan Unit Pelaksana Teknis di lapangan. Dalam
garis birokrasi struktural Departemen Hukum dan HAM, Kepala Lapas sebagai salah satu unit
pelaksana teknis misalnya, bertanggungjawab secara administratif kepada Kepala Kantor Wilayah
(Kakanwil) Departemen Hukum dan HAM sedangkan Kakanwil bertanggungjawab langsung
kepada Menteri Departemen Hukum dan HAM, sistem ini dikenal dengan sebutan integrated.
Posisi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan berada dibawah organisasi departemen dan bertanggung
jawab kepada Menteri. Sedangkan Kepala Divisi Pemasyarakatan (Kadiv Pas),bertanggungjawab
kepada Kakanwil Departemen Hukum dan HAM. Tidak ada garis struktural secara langsung antara
Dirjen Pas, Kadiv Pas dan Ka.Lapas sebagai Unit Pelaksana Teknis.
Hubungan antara Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas), Kadiv Pemasyarakatan, dan
satuan unit pelaksana teknis dibawahnya hanya bersifat teknis fungsional. Sebagai contoh dalam
Pasal 69 Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa bimbingan teknis
Pemasyarakatan kepada Lapas secara fungsional dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan
melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang bersangkutan. Demikian juga dalam
Pasal 61 ayat (3) dan (4) Peraturan No: M – 01.PRa.07.10 Tahun 2005 Tentang Organisasi Dan
Tata Kerja Kantor Wilayah yang menyebutkan bahwa Kepala Divisi Pemasyarakatan, dalam
melaksanakan tugasnya bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal atau Kepala Badan yang
bersesuaian melalui Kepala Kantor Wilayah. Dalam hal-hal tertentu yang bersifat teknis, Kepala
Divisi Pemasyarakatan, dapat melaporkan pelaksanaan tugasnya langsung kepada Direktur Jenderal
atau Kepala Badan yang bersesuaian dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah.
Disisi ini terlihat dualisme tata hubungan dalam tatanan struktural dan teknis organisasi, dimana
secara struktur organisasi yang sama-sama menjalankan fungsi pemasyarakatan itu tunduk pada
hierarki organisasi strukturalnya masing-masing meskipun secara teknis organisasi-organisasi
tersebut saling berhubungan. Bidang struktural yang menitikberatkan pada dukungan fasilitatif,
kepegawaian dan anggaran kepada bidang teknis yang menjalankan fungsi-fungsi Pemasyarakatan
sejatinya berada dalam satu hierarki manajemen terpadu. Dalam banyak hal, tata hubungan
tersebut tidak terselenggara dalam sistem organisasi pemasyarakatan di Departemen Hukum dan
HAM.
Pada akhirnya sistem ini menjadi faktor penyebab timbulnya permasalahan dalam keberhasilan
kinerja sistem pemasyarakatan secara keseluruhan.Dikatakan bermasalah karena tidak adanya
kesatuan kerja yang baik meskipun dikatakan sistem tersebut adalah sistem yang “integrited”.
Permasalahan lain yang kiranya belum maksimal dilakukan adalah pemberdayaan SDM yang
berasal dari Pemasyarakatan untuk dapat berkarier di jabatan-jabatan strategis di Departemen
sepanjang yang bersesuaian dengan bidang Pemasyarakatan misalnya di BPSDM, Sekjen untuk
biro perencanaan, pegawaian.
2. Saran Tindak
Pada dasarnya pelaksanaan tugas dan fungsi pemasyarakatan yang diemban oleh organisasi
pemasyarakatan sangat berat mengingat terus meningkatnya jumlah pelaku tindak pidana yang di
hukum mulai dari kategori anak, wanita hingga dewasa. Dengan kondisi tersebut maka seyogyanya
kemandirian organisasi pemasyarakatan perlu dipertimbangkan sehingga dualisme tata hubungan
baik dalam kerangka teknis fungsional dan struktural dalam pelaksanaan tugas dan fungsi
sedapatnya diminimalisir.
Terkait dengan permasalahan dalam struktur organisasi pemasyarakatan mungkin perlu
dipertimbangkan kembali bahwa peran Direktorat Jenderal dalam organisasi pemasyarakatan
merupakan “Pembina Teknis” kepada unit pelaksana teknis yang menjalankan tugas dan fungsi
pemasyarakatan. Wacana atau ide untuk mengatasi dualisme tata hubungan yang terjadi perlu
memperhatikan kondisi tersebut dengan alas strategi koordinatif dalam kerangka pembagian peran
yang jelas dimasing-masing bidang atau tingkatan manajemen. Dengan status sebagai pembina
teknis maka lingkup pelaksanaan tugasnya meliputi peran teknis-substantif sedangkan dalam
kerangka administratif-fasilitatif peran tersebut dimainkan oleh Sekretariat Jenderal Departemen
Hukum dan HAM. Faktual, dalam sistem integrated yang dianut oleh departemen, bidang-bidang
yang memainkan peran administratif-fasilitatif lebih dominan ketimbang bidang-bidang yang
memainkan peran teknis-substantif, kondisi ini pada akhirnya disikapi dengan prinsip koordinatif
agar terjadi keseimbangan dalam pelaksanaan tugas secara keseluruhan.
Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan HAM, saat ini tengah menyusun Pola Pembinaan dan
Pengendalian Administrasi Departemen (bindalmin) yang didalamnya mengatur mengenai pola tata
hubungan kerja antara unit-unit satuan utama di Departemen. Prinsip koordinatif diharapkan
tergambarkan dalam substansi penyusunan pola bindalmin tersebut, dimana tidak saja diatur
mengenai tata kerja antara unit-unit satuan utama tetapi juga tata hubungan antara unit satuan
utama di departemen dengan unit-unit kerja yang ada di kanwil serta unit pelaksana teknis di daerah
terutama dalam kerangka pelaksanaan tugas administratif – fasilitatif.
http://www.djpp.depkumham.go.id
Pencapaian kemandirian organisasi pemasyarakatan dalam upaya menciptakan efektifitas dan
efisiensi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tidak selalu diikuti dengan restrukturisasi organisasi
secara keseluruhan. Dengan sendirinya beragam pandangan mengenai bentuk atau model
organisasi yang ideal diantara pilihan holding atau integrated dapat disikapi dengan penggunaan
prinsip-prinsip koordinatif dalam pelaksanaan tugas dan fungsi sistem pemasyarakatan secara
keseluruhan. Prinsip koordinatif merupakan jalan terbaik untuk memaksimalkan peran organisasi
pemasyarakatan baik ditingkat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kepala Divisi Pemasyarakatan
hingga ke Unit Pelaksana Teknis. Koordinasi pelaksanaan tugas tersebut sebaiknya diatur dalam
organisasi dan tata kerja masing-masing bidang melalui Peraturan Menteri sehinga ada mekanisme
yang jelas. Bidang-bidang yang membutuhkan koordinasi yang jelas meliputi bidang anggaran dan
bidang kepegawaian namun demikian tidak tertutup kemungkinan bidang-bidang lain seperti pada
bidang pelaksanaan pendidikan dan pelatihan.
Hal-hal yang diharapkan dapat dicapai dengan adanya mekanisme koordinasi di organisasi
pemasyarakatan meliputi;
- Adanya tugas dan fungsi serta kewenangan yang diperoleh organisasi pemasyarakatan baik
di tingkat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kepala Divisi Pemasyarakatan hingga ke
Unit Pelaksana Teknis.
- Prinsip koordinasi dilaksanakan dalam lingkup tugas yang berhubungan dengan anggaran,
pembinaan kepegawaian, rekrutmen termasuk yang berhubungan dengan pendidikan dan
pelatihan dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia pemasyarakatan.
- Prinsip koordinasi di masing-masing bidang diatur dengan mekanisme yang jelas melalui
Peraturan Menteri Hukum dan HAM yang dituangkan dalam ketentuan Organisasi dan Tata
Kerja masing-masing bidang sesuai level birokrasinya, dalam pelaksanaannya tentunya
prinsip ini sebangun dengan Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Departemen
yang saat ini sedang disusun oleh Sekertariat Jenderal Departemen Hukum dam HAM.
- Untuk menjalankan prinsip koordinasi tugas dan fungsi pemasyarakatan yang telah
dituangkan dalam organisasi dan tata kerja perlu dibuat standar operasional prosedur atau
standar bekerja yang mengatur mengenai mekanisme teknis implementasi prinsip dimaksud.
- Agar lebih efektif dalam penerapan prinsip koordinatif tersebut maka penempatan personil
di Kesekretariatan Jenderal Departemen Hukum dan HAM atau bidang tugas lainnya seperti
Inspektorat Jenderal atau BPSDM sepanjang yang berhubungan dengan organisasi
pemasyarakatan sedapat mungkin ditempati oleh pegawai yang berasal dari kalangan
pemasyarakatan sehingga dapat mengetahui dengan cermat kondisi yang terjadi di
pemasyarakatan. Penempatan personil tersebut berdasarkan syarat administratif dan
substantif yang jelas dan transparan.
3. Indikator Keberhasilan
a. Terlaksananya koordinasi kewenangan meliputi bidang anggaran, kepegawaian dan
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi organisasi pemasyarakatan
b. Ketentuan mengenai desentralisasi kewenangan sebagai bentuk koordinasi diatur dengan
peraturan Menteri yang tertuang dalam organisasi dan tata kerja masing-masing tingkatan
organisasi pemasyarakatan
c. Ditempatkannya SDM dari pemasyarakatan di beberapa posisi yang berhubungan dengan
pemasyarakatan baik di Sekjen atau BPSDM agar memudahkan koordinasi
B. Organisasi Dan Tata Kerja Dalam Melaksanakan Tugas Pokok Dan Fungsi
Suatu organisasi yang baik dan efektif pada dasarnya memiliki ciri-ciri antara lain :
a. mempunyai tujuan organisasi yang jelas dan realistis
b. pembagian kerja dan hubungan pekerjaan antara unit-unit, sub sistem atau bagian-bagian harus
baik dan jelas
http://www.djpp.depkumham.go.id
c. organisasi harus menjadi alat dan wadah yang efektif dalam mencapai tujuan
d. tipe organisasi dan strukturnya harus sesuai dengan kebutuhan organisasi
e. unit-unit kerja ditetapkan berdasarkan atas eratnya hubungan kerja
f. job description setiap jabatan harus jelas dan tidak tumpang tindih
g. rentang kendali setiap bagian harus berdasarkan volume pekerjaan dan tidak terlalu banyak
h. sumber perintah dan tanggungjawab harus jelas, melalui jarak yang terpendek
i. jenis wewenang yang dimiliki setiap pejabat harus jelas
j. tidak adanya kesalahan manajemen dalam penempatan karyawan
k. hubungan antara bagian jelas dan serasi
l. pendelegasian wewenang harus berdasarkan job decription karyawan
m. diferensiasi, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi harus baik
n. organisasi harus luwes dan fleksibel
(H.P Malayu Hasibuan, “Manajemen: Dasar, Pengertian dan Masalah/ Jakarta, Bumi Aksara:2001)
Beberapa ciri organisasi diatas dijadikan alat untuk mengukur efektifitas dan efisiensi organisasi
Pemasyarakatan pada Departemen Hukum dan HAM saat ini.
1. Tujuan Organisasi
1.1. Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
Saat ini terdapat kondisi dimana ada kesenjangan dalam mengartikulasikan tujuan organisasi
pemasyarakatan baik ditingkat pusat maupun di tingkatan unit-unit pelaksana teknis. Sebagai
contoh, dibeberapa unit pelaksana teknis tujuan organisasi pemasyarakatan bisa dijalankan dengan
baik, namun tidak sedikit visi dan misi serta tujuan organisasi tersebut di tempat lain terlihat sangat
kurang. Pada akhirnya program kerja yang dibuat tidak sejalan dengan visi dan misi organisasi
pemasyarakatan. Kurangnya memahami visi dan misi organisasi mengakibatkan kemajuan dan
kemunduran suatu UPT Pemasyarakatan ditentukan oleh siapa yang memimpin sehingga terlihat
perbedaan kualitas kerja yang cukup besar antara setiap unit pelaksana teknis. Sudah seharusnya
tujuan organisasi yang diaplikasikan dalam visi dan misi organisasi mulai dikembangkan kembali
terutama di unit-unit pelaksana teknis. Diharapkan kemajuan suatu organisasi khususnya ditingkatan
UPT adalah berdasarkan tujuan yang telah disusun oleh organisasi bukan bergantung dari siapa yang
memimpin. Catatan bagi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bahwa suatu Visi dan Misi Organisasi
Pemasyarakatan bisa berkembang dan tidak statis hal tersebut secara dinamis berhubungan dengan
Rencana Pembangunan Nasional yang sudah digariskan dalam UU 25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional. Dengan demikian Direktorat jenderal pemasyarakatan perlu
secara aktif memasukan perencanaan strategisnya organisasinya kepada Sekjen atau Departemen
agar dapat menjadi bagian dari Rencana Strategis Departemen. Substansi Renstra Pemasyarakatan
seyogyanya perlu disempurnakan disesuaikan dengan visi, misi serta tujuan dan kebutuhan
organisasi. Disamping itu pola penyusunan program kerja pemasyarakatan di tingkat Kadiv PAS dan
unit-unit pelaksana teknis masih perlu dikuatkan mengingat belum disesuaikan dengan Renstra
Pemasyarakatan berdasarkan visi, misi serta tujuan organisasi yang ingin dicapai
1.2 Saran Tindak
Pada dasarnya Visi dan misi serta tujuan organisasi yang terkandung dalam Renstra bersifat
dinamis dan sesuai kebutuhan serta sedapatnya meliputi seluruh sub sistem pemasyarakatan mulai
dari Rutan, Lapas, Bapas dan Rupbasan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menetapkan tujuan organisasi dengan merumuskan visi dan
misi berdasarkan karakteristik tugas dan fungsinya yang sesuai dengan arah dan perkembangan
dalam perencanaan pembangunan nasional baik perencanaan jangka pendek, menengah dan
panjang. Visi dan misi yang disusun tersebut sedapatnya meliputi seluruh unsur pemasyarakatan
mulai dari Rutan, Lapas, Bapas dan Rupbasan. Visi dan misi tersebut seharusnya
ditransformasikan secara jelas kepada sub organisasi yang melaksanakan tugas dan fungsi
pemasyarakatan seperti kepada Kadiv Pemasyarakatan dan unit pelaksana teknis dibawahnya.
Oleh karena itu Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu mendorong agar Kadiv Pemasyarakatan
http://www.djpp.depkumham.go.id
beserta semua unit pelaksana teknis yang berada dibawah koordinasi Kadiv Pemasyarakatan
mempunyai program yang sejalan dengan visi dan misi pemasyarakatan berdasarkan tingkat atau
level birokrasinya masing-masing. Visi dan misi tersebut dijadikan sebagai pedoman baku
mengenai arah bekerjanya organisasi sehingga baik pimpinan dan staf mempunyai paradigma yang
sama untuk mencapai tujuan bersama, dengan demikian kemajuan dan keberhasilan dalam
mencapai tujuan organisasi bukan tanggungjawab Kepala UPT saja, atau Kadiv Pemasyarakatan
atau Direktur Jenderal Pemasyarakatan saja tetapi seluruh insan Pemasyarakatan.
1.3 Indikator Keberhasilan
a. Adanya substansi Renstra yang sesuai dengan kebutuhan organisasi yang mencakup
keseluruhan sub sistem pemasyarakatan Rutan, Lapas, Bapas dan Rupbasan
b. Adanya surat keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang mengatur agar penyusunan
program kerja di setiap unit pelaksana teknis atau Divisi PAS di Kanwil dalam menyusun
program kerja harus berdasarkan rencana strategis (renstra) organisasi Pemasyarakatan
.
diharapkan dengan adanya kedua indikator ini Visi dan misi dan tujuan organisasi dapat
diimplementasikan secara baik di setiap level birokrasi mulai ditingkat Direktorat Jenderal, Kadiv
Pemasyarakatan dan unit Pelaksana Teknis
2. Penyesuaian Tipe Organisasi dan Struktur dengan Kebutuhan Organisasi
2.1 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
2.1.1 Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan diatur dalam
Peraturan Menteri Hukum Dan HAM R.I Nomor: M.09-PR.07.10 Tahun 2007 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum Dan HAM R.I. setidaknya ada enam (6)
direktorat teknis yang melaksanakan tugas dan fungsi pemasyarakatan di Direktorat Jenderal
diantaranya sebagai berikut:
- Direktorat Registrasi dan Statistik
- Direktorat Perawatan
- Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan
- Direktorat Latihan Kerja dan Produksi
- Direktorat Kemanan dan Ketertiban
- Direktorat Bina Khusus Narkotika
Gambar :Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Pola struktur organisasi yang saat ini berlaku di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan disusun
menggunakan pendekatan proses. Pengalaman dalam penerapan pola struktur tersebut, dirasakan
SEKRETARIAT
DIREKTORAT
JENDERAL
DIREKTORAT BINA
REGISTRASI DAN
STATISTIK
DIREKTORAT
BINA PERAWATAN
DIREKTORAT BINA
BIMBINGAN
KEMASYARAKTAN
DIREKTORAT BINA
LATIHAN KERJA DAN
PRODUKSI
DIREKTORAT
BINA KHUSUS
NARKOTIKA
DIREKTORAT BINA
KEAMANAN DAN
KETERTIBAN
DIREKTORAT
JENDERAL
PEMASYARAKATAN
http://www.djpp.depkumham.go.id
mengandung beberapa kelemahan. Terutama terkait dengan efektifitas dan efisiensi dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi pemasyarakatan. Berkenaan dengan pola strukturnya, struktur yang
berlaku saat ini tidak konsisten dengan pola organisasi yang dirancang dalam organisasi
Pemasyarakatan (quasi process). Misalnya keberadaan Direktorat Bina Khusus Narkotika, yang
menunjukan bahwa pola yang disusun tidak lagi menggunakan pendekatan proses tetapi melalui
pendekatan bidang. Namun di sisi lain tugas dan fungsi yang diemban oleh Direktorat Bina Khusus
Narkotika tidak jauh berbeda dengan Direktorat Perawatan sehingga menjadi kurang efektif dan
cenderung tumpang tindih. Kelemahan lainnya dengan pola organisasi Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan yang berlaku saat ini, menunjukkan bidang-bidang teknis seperti Bapas dan Rupbasan
kurang terakomodasi secara baik, sehingga berimbas pada kurang optimalnya dukungan Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi kedua bidang tersebut. Hal tersebut
dapat terjadi karena pola organisasi yang dibangun saat ini adalah berdasarkan suasana dan logika
proses pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi yang ada di Lapas dan Rutan. Pola organisasi
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan saat ini terdapat kesamaan dengan pola organisasi di Lapas atau
Rutan. Model struktur tersebut cenderung kurang mendorong Bapas dan Rupbasan berkembang secara
optimal terutama yang berkaitan dengan pemenuhan perlakuan dan pembinaan khusus terhadap anak
dan perempuan.
.
Bidang Humas
Permasalahan lain cukup penting untuk diketengahkan mengenai Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan adalah Sub Bagian Hubungan Masyarakat. Menurut Pasal 399 ayat (2)
Peraturan Menteri Hukum dan HAM R.I Nomor: M.09-PR.07.10 tahun 2007 Tentang Organisasi
dan Tata Kerja Departemen Hukum dan HAM R.I. disebutkan bahwa Sub Bagian Hubungan
Masyarakat dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mempunyai tugas melakukan
urusan hubungan masyarakat dan protokol. Kedudukan Humas ini ada dibawah bagian tata usaha
direktorat yang berada langsung dibawah Sekertariat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Seiring dengan keterbukaan informasi pemerintah sebagai bagian dari pemenuhan prinsip
penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) berdasarkan prinsip-prinsip
transparansi dan akuntabilitas maka peran Humas sebagai garda terdepan Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan untuk memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai kondisi-kondisi
yang terjadi dan berkembang di masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi
pemasyarakatan menjadi suatu kewajiban yang harus dijalankan secara profesional. Minimnya
upaya-upaya untuk pengembangan informasi publik dalam memberikan wacana dari sudut
pandang internal organisasi pemasyarakatan terhadap pemberitaan negatif dan pencitraan publik
terhadap kinerja organisasi pemasyarakatan, dapat dikatakan sebagai gagalnya peran humas
mengantisipasi hal tersebut.
Kegagalan ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya kedudukan humas secara struktural
setara dengan eselon IV sehingga secara birokratis sulit untuk menentukan atau setidaknya
mempunyai kapasitas meminta informasi, keterangan, dari UPT atau Kadiv Pemasyarakatan
secara cepat apabila ada permasalahan di daerah yang berskala nasional, serta dapat memberikan
keterangan kepada publik karena jabatan yang diembannya untuk kepentingan Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan dan Departemen Hukum dan HAM. Berdasarkan tata organisasi saat ini,
kapasitas menyiapkan informasi, memberikan informasi, dan menyampaikannya kepada publik
menurut aturan dalam organisasi dan tata kerja Departemen berada di Kepala Biro Humas
Departemen Hukum dan HAM. Unit-unit Humas yang berada di tiap-tiap Direktorat Jenderal
tidak mempunyai kewenangan tersebut dalam organisasi dan tata kerja Departemen. Pengelolaan
dan pengembangan komunikasi publik pada lembaga-lembaga pemerintahan saat ini merupakan
salah satu kebutuhan yang relatif penting diprioritaskan. Humas Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan posisinya perlu didorong untuk ditingkatkan menjadi bagian serta ditambahkan
kewenangan untuk berkomunikasi dan memberikan informasi kepada masyarakat yang
ditegaskan dalam Peraturan Menteri sehingga Humas Direktorat dapat bekerja secara optimal.
http://www.djpp.depkumham.go.id
Selain gradasi struktural faktor lain yang berpengaruh adalah belum terlihatnya strategi media
yang efektif yang dilakukan oleh subbagian Humas Direktorat terutama dalam merespon segala
hal yang berkembang di masyarakat dan di media yang terkait dengan pemasyarakatan. Humas
pemasyarakatan terkesan hanya menunggu jika diklarifikasi oleh media, peran Humas pasif
sehingga pencitraan pemasyarakatan tergantung bagaimana inisiatif media mengemasnya bukan
karena strategi yang diterapkan oleh Humas. Dengan kata lain bahwa SDM Humas kurang
memadai dan perlu peningkatan selain itu hingga kini Jabatan Humas di Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan belum dikategorikan sebagai jabatan fungsional sesuai ketentuan perundangundangan
yang berlaku.
2.1.2 Saran Tindak
Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Secara keseluruhan diperlukan penilaian dan pengkajian yang mendalam terkait struktur
organisasi dan tata kerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan perlu menyiapkan kelompok kerja untuk membahas mengenai restrukturisasi
organisasi Dirjen Pemasyarakatan. Penyusunan pola struktur organisasi Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan idealnya disusun berdasarkan “bidang” bukan berdasarkan “proses”. Hal ini
dimaksudkan agar semua pelaksanaan tugas dan fungsi pemasyarakatan dapat diakamodasi
secara memadai. Pola struktur yang diusulkan agar lebih mengakomodasi tugas pokok dan
fungsi organisasi pemasyarakatan secara optimal adalah melalui penyesuaian pola struktur
organisasi yang terdiri dari:
- Direktorat Lapas
- Direktorat Rutan
- Direktorat Bapas
- Direktorat Rupbasan
- Direktorat Anak & Perempuan
Namun demikian komposisi struktur ini masih diperlukan kajian yang mendalam oleh Tim
khusus.
Konsepsi usulan Penyesuaian Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Melalui struktur tersebut, terlihat prinsip miskin struktur kaya fungsi dapat diterapkan dengan
baik sedangkan disisi lain semua bidang tugas unit pelaksana teknis dapat diakomodir dalam
struktur organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Hal penting lainnya adalah tidak
adanya lagi inkonsistensi atau tumpang tindih struktur dengan Berubahnya struktur organisasi
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dari pendekatan quasi process menjadi pendekatan Bidang.
Namun demikian untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan masih dimungkinkan untuk membuat Direktorat baru sepanjang bersesuaian
dengan konsep bidang yang dianut dalam penyusunan perencanaan tupoksinya.
SEKRETARIAT
DIREKTORAT
JENDERAL
DIREKTORAT
LAPAS
DIREKTORAT RUTAN DIREKTORAT
RUPBASAN
DIREKTORAT BAPAS
DIREKTORAT
JENDERAL
PEMASYARAKATAN
DIREKTORAT ANAK
& PEREMPUAN
http://www.djpp.depkumham.go.id
Bidang Humas
Dalam rangka meningkatkan peran Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan agar dapat
berperan maksimal maka tingkatan jabatan dalam struktur organisasi sebaiknya ditingkatkan
dari eselon IV menjadi Eselon III sehingga setara dengan Kepala Bagian. Dengan kapasitas
tersebut diharapkan kendala-kendala birokratis dapat diminimalisir, sebagai perbandingan
jabatan Humas di Direktorat Jenderal Imigrasi sejak lama ditempati oleh eselon III. Agar
Humas direktorat dapat berperan secara maksimal dan memainkan peran startegi media yang
aktif dan efektif maka kualitas SDM dibidang Humas harus ditingkatkan dengan memberikan
pelatihan khusus kehumasan dan berkesinambungan. Dalam konteks pelaksanaan tugas dan
fungsi sebenarnya Humas dikategorikan dalam jabatan fungsional Juru Penerangan
sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 87/1999 tentang Rumpun Jabatan
Fungsional Pegawai Negeri Sipil. Pedoman untuk merealisasikan jabatan fungsional
kehumasan tersebut, terdapat Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
(RSKKNI) Bidang Kehumasan yang disusun oleh Departemen Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia. Departemen Hukum dan HAM perlu menempatkan status humas dalam
kerangka jabatan fungsional sebagaimana diatur dalam ketentuan Keppres tentang jabatan
fungsional pegawai negeri sipil sedangkan ketentuan teknis angka kredit dan jenjang jabatan
dan uraian spesifikasi tugas kehumasan dapat mengacu pada bahan yang sudah disiapkan oleh
Depkominfo.
2.1.3 Indikator Keberhasilan
a. Berubahnya struktur organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dari pendekatan quasi
process menjadi pendekatan Bidang
b. Meningkatnya eselonisasi Humas dari eselon IV menjadi eselon III
c. Memberikan kesempatan yang luas bagi SDM Humas untuk mengikuti pelatihan-pelatihan
kehumasan secara berkesinambungan
d. Diimplementasikannya sepesifikasi jabatan humas sebagai jabatan fungsional pegawai negeri
sipil dalam rumpun juru penerangan
2.2 Balai Pemasyarakatan (Bapas)
2.2.1 Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
Ketentuan mengenai Organisasi dan Tata Kerja Bapas secara normatif diatur dalam Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.01.PR.07.03 Tahun 1997 tentang
Perubahan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-PR.07.03 Tahun
1987 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan
Anak. Keberadaan peraturan tersebut mengubah nomenklatur Bispa menjadi Balai
Pemasyarakatan yang disingkat Bapas. Bapas mempunyai tugas memberikan bimbingan
kemasyarakatan namun satu hal yang patut dicermati perubahan nomenklatur Bapas secara
signifikan telah menghilangkan peran “Pengentasan Anak” sehingga pelaksanaan tugas dan
fungsi yang berkaitan dengan pembinaan dan pembimbingan anak menjadi kurang
terselenggara dengan baik. Pada umumnya tugas Bapas dilaksanakan oleh Pembimbing
Kemasyarakatan
Pembimbing Kemasyarakatan bertugas :
a. melakukan penelitian kemasyarakatan untuk :
1) membantu tugas penyidik, penuntut umum dan hakim dalam perkara anak nakal;
2) menentukan program pembinaan narapidana di lapas dan anak didik pemasyarakatan di
lapas anak;
3) menentukan program perawatan tahanan di rutan;
4) menentukan program bimbingan dan atau bimbingan tambahan bagi klien
pemasyarakatan.
http://www.djpp.depkumham.go.id
b. melaksanakan bimbingan kemasyarakatan dan bimbingan kerja bagi klien pemasyarakatan;
c. memberikan pelayanan terhadap instansi lain dan masyarakat yang meminta data atau hasil
penelitian kemasyarakatan klien tertentu;
d. mengkoordinasikan pekerja sosial dan pekerja sukarela yang melaksanakan tugas
pembimbingan; dan
e. melaksanakan pengawasan terhadap terpidana anak yang dijatuhi pidana pengawasan, anak
didik pemasyarakatan yang diserahkan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh dan
orang tua, wali dan orang tua asuh yang diberi tugas pembimbingan.
Pembimbing Kemasyarakatan berkewajiban :
a. menyusun laporan atas hasil penelitian kemasyarakatan yang telah dilakukannya;
b. mengikuti sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan guna memberikan data, saran dan
pertimbangan atas hasil penelitian dan pengamatan yang telah dilakukannya;
c. mengikuti sidang pengadilan yang memeriksa perkara anak nakal guna memberikan
penjelasan, saran dan pertimbangan kepada hakim mengenai segala sesuatu yang berkaitan
dengan anak nakal yang sedang diperiksa di pengadilan berdasarkan hasil penelitian
kemasyarakatan yang telah dilakukannya;
d. melaporkan setiap pelaksanaan tugas kepada Kepala Bapas.
Melihat tugas dan kewajiban yang dijalankan oleh pembimbing kemasyarakatan yang begitu
penting maka kualifikasi dan kompetensi pembimbing kemasyarakatan perlu ditingkatkan.
Permasalahannya syarat-syarat pembimbing kemasyarakatan yang diatur dalam Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor :M.01-PK.04.10 Tahun 1998 Tentang Tugas,
Kewajiban dan Syarat-Syarat Bagi Pembimbing Kemasyarakatan kurang mencerminkan
kebutuhan akan kualifikasi dan kompetensi tersebut. Dalam Keputusan Menteri Kehakiman
disebutkan bahwa untuk menjadi Pembimbing Kemasyarakatan adalah :
a. Pegawai Negeri Sipil yang berpendidikan serendah-rendahnya lulusan:
1) Sekolah Menengah Kejuruan Bidang Pekerja Sosial;
2) Sekolah Menegah Umum atau Kejuruan lainnya.
b. telah berpengalaman kerja sebagai pembantu Pembimbing Kemasyarakatan bagi lulusan :
1) Sekolah Menengah Kejuruan bidang Pekerja Sosial berpengalaman sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun;
2) Sekolah Menengah Umum atau Kejuruan lainnya berpengalaman sekurang-kurangnya 3
(tiga) tahun.
c. sehat jasmani dan rohani;
d. pangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda (Golongan/Ruang II/a);
e. telah mengikuti Pelatihan Teknis Pembimbing Kemasyarakatan;
f. mempunyai minat, perhatian dan dedikasi dibidang kesejahteraan sosial; dan
g. semua unsur penilaian dalam DP3 bernilai baik dan tidak sedang menjalani hukuman disiplin.
2.2.2 Saran Tindak
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu mendorong perbaikan Keputusan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia Nomor :M.01-PK.04.10 Tahun 1998 Tentang Tugas, Kewajiban
dan Syarat-Syarat Bagi Pembimbing Kemasyarakatan. Pembimbing Kemasyarakatan
mempunyai empat peran penting yakni melakukan penelitian kemasyarakatan, melakukan
pendampingan di sidang pengadilan, melakukan pengawasan putusan hakim dan melaksanakan
pembimbingan pada narapidana dan anak didik Pemasyarakatan. Untuk menyiapkan sumber
daya manusia pembimbing kemasyarakatan yang handal maka empat kualifikasi khusus
tersebut sedapatnya dijadikan pertimbangan dalam proses rekrutmen tenaga pembimbing
kemasyarakatan. Dengan kualifikasi tersebut maka dirasakan syarat pembimbing
kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor :M.01-PK.04.10 Tahun 1998 Tentang Tugas, Kewajiban dan Syarat-Syarat Bagi
Pembimbing Kemasyarakatan sebaiknya direvisi kembali untuk disesuaikan dengan kondisi dan
perkembangan pemasyarakatan saat ini.
http://www.djpp.depkumham.go.id
2.2.3 Indikator Keberhasilan
Adanya revisi terhadap Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor :M.01-
PK.04.10 Tahun 1998 Tentang Tugas, Kewajiban dan Syarat-Syarat Bagi Pembimbing
Kemasyarakatan
2.3 Rumah Tahanan Negara (Rutan) & Cabang Rutan
2.3.1 Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja Rumah Tahanan Negara diatur dalam Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.04.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara.
Ketentuan mengenai Rutan juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sebagai
koreksi mengingat kedepan pelaksanaan tugas dan fungsi Rutan menjadi kompleks maka
struktur organisasi Rutan perlu ditinjau kembali seiring dengan kemandirian pengaturan
tupoksinya dengan tidak dijadikan satu regulasi dengan Rupbasan.
Salah satu fungsi utama Rutan adalah memberikan pelayanan kepada tahanan. Adanya fungsi
pelayanan tersebut dalam dalam struktur organisasi terdapat seksi-seksi seperti pelayanan yang
memberikan perawatan dan mengurus kesehatan tahanan, pemberian bantuan hukum untuk
mendapatkan bantuan hukum dari Penasihat hukum, penyuluhan jasmani dan rohani serta
pemberian bimbingan dan kegiatan untuk tahanan. Beberapa permasalahan di Rutan yang
menjadi titik perhatian dalam blue print ini diantaranya sebagai berikut;
Permasalahan pada umumnya adalah peran untuk memberikan bantuan hukum kepada tahanan
atau memberikan kesempatan kepada tahanan untuk mendapatkan bantuan hukum dari
penasehat hukum yang dirasakan sangat kurang. Hal tersebut dipersulit dengan tidak adanya
standard operasional prosedur yang dimiliki oleh petugas rutan dalam menentukan model
bantuan hukum seperti apa yang seharusnya diberikan kepada tahanan. Kelemahan lainnya
adalah kualitas sumber daya manusia dimana yang ditempatkan di seksi bantuan hukum adalah
pegawai pemasyarakatan yang bukan dengan kualifikasi sarjana hukum. Hingga saat ini
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan belum menggandeng asosiasi penasihat hukum atau
asosiasi advokat seperti Peradi atau asosiasi-asosiasi lainnya untuk terlibat dalam pemberian
bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono) kepada tahanan yang tidak mampu
menggunakan jasa advokat khususnya bagi mereka yang diancam dengan hukuman lima tahun
keatas. Aspek lainnya yang terkait erat dengan pelaksanaan pemberian bantuan hukum adalah
segi pembiayaan. Alokasi anggaran untuk bantuan hukum saat ini berada di Kanwil Departemen
Hukum dan HAM. Dalam rangka mengoptimalkan pemberian bantuan hukum bagi tersangka/
terdakwa yang tidak mampu, perlu diupayakan agar dana mengenai bantuan hukum sebaiknya
digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas pemberian bantuan hukum bagi tahanan di
rutan.
Masalah lainnya secara struktural kedudukan Kepala Rutan yang hanya eselon IV dalam tata
pergaulan birokrasi di unsur-unsur pemerintahan dan unsur-unsur penegak hukum lainnya
terlihat tidak sepadan dan cenderung diremehkan karena dalam kepangkatan ataupun
kedudukan yang tidak setara. Kondisi ini secara psikologis berpengaruh pada kinerja kepala
rutan sehingga kiranya persyaratan jabatan bagi kepala rutan dan seluruh UPT lainnya (Bapas,
Lapas dan Rupbasan) ditempati oleh mereka yang menduduki jabatan eselon III.
Selain Rutan permasalahan lain di cabang rutan adalah mengenai organisasi dan tata kerja
penyelenggaraan cabang-cabang rutan khusus di instansi lain seperti Cabang Rutan Kejaksaan
Agung, Cabang Rutan Polda Metro Jaya, dan Cabang Rutan Brigade Mobil. Meskipun
nomenklatur organisasi disebut dengan ‘Cabang Rutan” namun organisasi ini menurut
http://www.djpp.depkumham.go.id
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.04.PR.07.03 Tahun 1985 secara
hierarki tidak berada dibawah organisasi rutan. Cabang-cabang Rutan tersebut secara otonom
mempunyai kedudukan yang sama dengan UPT lainnya. Kedudukan otonom tersebut diperkuat
dengan adanya Keputusan Menteri Kehakiman yang mengatur secara khusus tata kerja cabangcabang
Rutan tersebut. Akibatnya peran koordinatif antara cabang rutan khusus dengan unit
pelaksana teknis seperti rutan di daerah hukum yang sama kurang berjalan dengan baik.
Sumber daya manusia yang melaksanakan pelayanan tahanan di cabang rutan khusus tersebut
semuanya berisi personil dari kesatuan masing-masing cabang rutan tersebut. Sebagai contoh
yang menjadi staf pada cabang rutan Kejaksaan Agung adalah pegawai kejaksaan dan bukan
pegawai pemasyarakatan, demikian juga yang terjadi di Cabang Rutan Brigade Mobil adalah
Polisi, Cabang Rutan Polda Metro Jaya dan lain-lain. Akibatnya koordinasi dan kerjasama
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor
M.04.PR.07.03 Tahun 1985 antara Cabang Rutan dan Rutan tidak berjalan dengan efektif.
Permasalahan tersebut menyebabkan pemenuhan hak-hak dan perlakuan terhadap tahanan di
rutan-rutan khusus tersebut berbeda dengan tahanan yang ditempatkan di rutan pada umumnya.
2.3.2 Saran Tindak
Bahwa sebagai unit pelaksana teknis yang tugas dan fungsi utamanya memberikan pelayanan
kepada tahanan maka peran untuk memberikan bantuan hukum kepada tahanan atau
memberikan kesempatan kepada tahanan untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasihat
hukum merupakan hal yang seharusnya dilaksanakan oleh rutan sebagaimana diamanatkan
dalam tugas pokok dan fungsinya. Hal pertama yang seharusnya dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan adalah menyusun suatu juklak dan juknis yang berisi standard
operasional prosedur tentang model dan teknis pelaksanaan bantuan hukum yang dapat
diberikan oleh petugas pemasyarakatan di rutan kepada tahanan yang membutuhkan bantuan
hukum. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan juga perlu membuat perjanjian dan kerjasama
dengan asosiasi advokat yang ada di Indonesia untuk dapat memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma kepada tahanan yang secara ekonomi tidak mampu menggunakan jasa advokat
terutama bagi mereka yang diancam hukuman lima tahun keatas sebagaimana diatur dalam
KUHAP.
Pada dasarnya kedudukan seseorang dalam jabatan tertentu ditentukan berdasarkan kemampuan
dan penilaian tertentu berdasarkan standard kompetensi untuk menempati posisi tersebut. Oleh
karena seksi Bantuan Hukum di rutan bersentuhan langsung dengan aturan hukum baik hukum
pidana materil maupun hukum pidana formil maka Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu
mendorong agar Biro Kepegawaian Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan HAM
memperhatikan syarat Sarjana Hukum dalam menempatkan pegawai yang duduk dalam seksi
pelayanan di Rutan. Demikian juga mengenai anggaran bantuan hukum yang ada di Kanwil
sebaiknya dialokasikan kepada Rutan yang menyelenggarakan program bantuan hukum. Selain
itu Direktorat Jenderal Pemasyarakatan juga perlu mendorong agar Biro Kepegawaian
Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan HAM agar memperhatikan jabatan Kepala Rutan
sebaiknya diprioritaskan bagi mereka yang pangkatnya telah mencapai eselon III agar setara
dengan kedudukan birokrasi pemerintah dan unit penegak hukum lainnya seperti lurah dan
Kepala Kantor Kejaksaan Negeri atau Kepala Kepolisian Resort. Disamping itu perlu dibuat
suatu ketentuan mengenai Peraturan Menteri Hukum Dan HAM tentang organisasi dan tata
kerja Rutan dan Cabang Rutan yang terpisah dengan Rupbasan.
Dalam konteks organisasi cabang rutan sebaiknya ditempatkan di bawah struktur organisasi
rutan. Pegawai cabang rutan terutama bagi cabang rutan khusus misalnya di Kejaksaan Agung,
Cabang Rutan Brigade Mobil dan lain-lain sebaiknya berasal dari petugas pemasyarakatan agar
kepentingan-kepentingan yang terkait dengan kebutuhan anggaran, kebutuhan sumber daya
manusia dan dukungan teknis lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas cabang rutan
http://www.djpp.depkumham.go.id
dapat dilaksanakan secara integral dan efektif. Diharapkan dengan sistem hierarki yang
menempatkan cabang rutan berada dibawah koordinasi kepala rutan maka hubungan kerja
antara cabang rutan dan rutan dapat berjalan dengan baik.
Dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.04.PR.07.03 Tahun 1985,
cabang rutan disamakan dengan rutan dimana kepala cabang rutan secara struktural
bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM. Tentunya
nomenklatur yang berbeda tetapi mempunyai tugas dan fungsi dan hubungan tanggungjawab
yang sama merupakan suatu kejanggalan. Penting untuk dipertimbangkan untuk menyamakan
status cabang rutan agar dijadikan rutan sehingga tidak ada lagi cabang-cabang rutan di
Indonesia. Selanjutnya bagi cabang-cabang rutan yang akan menjadi rutan, sumber daya
manusianya harus berasal dari petugas pemasyarakatan bukan berasal dari instansi tempat
dimana rutan tersebut berada. Oleh karena itu Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu
mengkaji kembali ketentuan kerjasama terdahulu antara Menteri Kehakiman dengan Jaksa
Agung atau dengan Kapolri dan pejabat lainnya mengenai penyelenggaraan tugas dan fungsi
cabang rutan di masing-masing instansi tersebut.
2.3.3 Indikator Keberhasilan
a. Adanya suatu pedoman yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan berisi
standard operasional prosedur tentang model dan teknis pelaksanaan bantuan hukum yang
dapat diberikan oleh petugas pemasyarakatan di rutan kepada tahanan yang membutuhkan
bantuan hukum.
b. Adanya naskah perjanjian kerjasama antara Direktur Jenderal Pemasyarakatan dengan
organisasi profesi advokat di seluruh Indonesia agar dapat memberikan bantuan hukum
secara cuma-cuma di rutan bagi tahanan yang tidak mampu.
c. Anggaran bantuan hukum yang selama ini berada di kanwil sebaiknya dialokasikan rutan
yang menyelenggarakan program bantuan hukum kepada tahanan
d. Penempatan petugas pemasyarakatan yang menduduki jabatan sebagai kepala seksi
pelayanan atau kepala seksi bantuan hukum sekurang-kurangnya berijasah Sarjana Hukum
e. Jabatan kepala rutan dan seluruh UPTdi Indonesia (termasuk Lapas, Bapas dan Rupbasan)
diduduki oleh mereka yang telah mencapai jabatan eselon III
f. Adanya kajian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengenai
ketentuan kerjasama terdahulu antara Menteri Kehakiman dengan Jaksa Agung atau dengan
Kapolri dan pejabat lainnya mengenai penyelenggaraan tugas dan fungsi cabang rutan di
masing-masing instansi tersebut. Bahannya digunakan sebagai acuan perubahan model
kerjasama antara Instansi yang menitikberatkan pada penyerahan sepenuhnya tugas dan
tanggungjawab pengelolaan cabang rutan di instansi tersebut kepada Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan.
g. Dalam konteks hierarki struktural cabang rutan ditempatkan dibawah tanggung jawab
kepala rutan.
h. Adanya revisi ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja Rumah Tahanan Negara diatur
dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.04.PR.07.03 Tahun
1985 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan
Benda Sitaan Negara
2.4 RUPBASAN
2.4.1 Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara selanjutnya disebut Rupbasan adalah tempat benda yang
disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan. Dasar hukum pengaturan Rupbasan diatur
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana dan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor
http://www.djpp.depkumham.go.id
M.04.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara dan Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan Negara.
Kedudukan Rupbasan berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM. Penyelenggaraan bimbingan teknis pemasyarakatan yang berkaitan
dengan tugas dan fungsi Rupbasan secara fungsional dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan melalui Kanwil Departemen Hukum dan HAM. Penempatan Rupbasan dalam
kewenangan Departemen Hukum dan HAM merupakan perintah dari PP. No 27 tahun 1983.
Kedudukan Rupbasan dalam lingkup kewenangan Departemen Hukum dan HAM didasarkan atas
pembagian kewenangan dan kontrol lintas penegak hukum dalam bekerjanya sistem peradilan pidana
serta dalam konteks perlindungan hak asasi manusia. Dalam organisasi dan tata kerja departemen
Hukum dan HAM, Rupbasan secara teknis tunduk pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Dalam struktur organisasi Rupbasan, sebaiknya ditempatkan kelompok jabatan fungsional yang
ditempatkan berdasarkan pelaksanaan tugas dan fungsi Rupbasan. Kelompok ini akan berperan dalam
kerangka pengelolaan dan perawatan barang sitaan dengan perlakuan-perlakuan khusus terhadap
barang-barang tertentu yang karena sifat, bentuk dan cara penanganannya membutuhkan keahlian
khusus. Barang dengan spesifikasi penanganan khusus tersebut misalnya yang berhubungan dengan
bahan-bahan kimia atau barang-barang yang mudah terbakar dan barang-barang yang sensitif dalam
kategori berbahaya. Disisi lain Kualitas SDM pegawai pemasyarakatan yang ditempatkan di Rupbasan
sangat rendah karena kurangnya pendidikan dan pelatihan yang diperoleh terutama yang menyangkut
pengujian dan penyimpanan serta perlakuan terhadap barang bukti Disamping itu sebaiknya aturan
mengenai organisasi dan tata kerja Rupbasan sebaiknya dipisahkan dengan organisasi dan tata kerja
Rutan mengingat pelaksanaan tugas dan fungsinya yang berbeda
2.4.2 Saran Tindak
Peraturan Menteri Kehakiman tentang Organisasi dan Tata Kerja Rutan Rupbasan perlu direvisi
dimana diperlukan adanya pengaturan secara khusus mengenai organisasi dan tata kerja Rupbasan. Hal
ini memungkinkan mengingat perkembangan penyelesaian perkara begitu tinggi salah satunya pada
penanganan perkara korupsi sehingga membutuhkan tempat-tempat penyimpanan dan perawatan benda
sitaan yang lebih banyak.
Bagian Kepegawaian Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu melakukan perencanaan terhadap
formasi kebutuhan tenaga fungsional lain yang bertugas di Rupbasan dengan memperhatikan
kompetensi pendidikan, keahlian dan syarat khusus lainnya untuk menciptakan aparatur petugas
Rupbasan yang professional.
Rancangan tersebut diajukan kepada Sekjen untuk menjadi bahan masukan untuk kepentingan
rekrutmen petugas Rupbasan
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Rupbasan adalah dengan memberikan pelatihanpelatihan
khusus guna menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi Rupbasan.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu menyusun perencanaan pendidikan dan pelatihan bagi
petugas Rupbasan. Hasil dari perencanaan dan kurikulumnya diserahkan kepada BPSDM atau pihak III
yang terlibat dalam hal itu. Pelatihan-pelatihan tersebut harus diberikan secara berjenjang dan
berkesinambungan
2.4.3 Indikator Keberhasilan
a. Adanya peraturan Menteri Hukum dan Ham yang mengatur secara khusus tentang
Rupbasan
b. Penerimaan calon petugas Rupbasan didasarkan pada syarat kompetensi pendidikan,
keahlian dan syarat khusus lainnya berdasarkan rumpun jabatan fungsional yang dibutuhkan
dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Rupbasan
http://www.djpp.depkumham.go.id
c. Adanya pelatihan-pelatihan yang diberikan secara berjenjang dan berkesinambungan
kepada petugas Rupbasan
2.5 LAPAS
2.5.1 Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
Dalam ketentuan organisasi dan tata kerja Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 4
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 Tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan, dasar klasifikasi Lapas dibentuk berdasarkan
kapasitas, tempat kedudukan dan kegiatan kerja sehingga diseluruh Indonesia ada tiga kelas Lapas
yakni Kelas I, Kelas IIA dan Kelas IIB secara umum struktur organisasinya tidak ada yang berbeda.
Disetiap kelas Lapas tersebut, terdapat bidang atau seksi yang menyelenggarakan kegiatan tata usaha,
kegiatan pembinaan atau bimbingan narapidana, penyelenggaraan kegiatan kerja, administrasi
keamanan dan tata tertib serta satuan pengamanan.
Pembidangan dalam penyelenggaraan organisasi Lapas tersebut kurang dapat mencerminkan karakter
kebutuhan masing-masing jenis Lapas berdasarkan kualifikasi yang telah ditentukan. Tipe organisasi
Lapas yang telah ditentukan tidak tergambar dengan jelas dalam aturan dan struktur organisasi tata
kerjanya. Struktur organisasi berdasarkan kelas tersebut pada akhirnya digunakan pula sebagai struktur
pada Lapas Anak, Lapas Wanita, Lapas Terbuka dan Lapas Narkotika.
2.5.2 Saran Tindak
Dalam ketentuan organisasi dan tata kerja Lapas yang berlaku saat ini nomenklatur kelas menunjukan
kapasitas penghuni dan tempat kedudukan dari sebuah organisasi Lapas, sedangkan titik berat
pencapaian tujuan organisasi diarahkan pada kegiatan kerja. Dengan kondisi Pemasyarakatan yang
berkembang seiring dengan tuntutan peningkatan pembinaan dan pembimbingan berdasarkan
pemenuhan hak asasi manusia dengan standar-standar internasional yang berlaku maka sudah
sepantasnya titik berat pencapaian tujuan organisasi diarahkan kepada pembinaan dan pembimbingan
narapidana dan tidak terfokus kepada kegiatan kerja semata. Tipe organisasi yang tergambar dalam
struktur organisasi Lapas seharusnya berdasarkan jenis penghuni atau narapidana agar tidak terjadi
kerancuan. Tegasnya, klasifikasi Lapas di bentuk berdasarkan kapasitas, tempat kedudukan dan
kegiatan kerja sedangkan struktur organisasi di susun berdasarkan karakteristik atau jenis penghuni dan
model pembinaan dan pembimbingannya masing-masing.
Dengan konsep yang baru maka secara umum perpaduan antara struktur organisasi dan klasifikasi
Lapas yang ada di Indonesia memperhatikan karakteristik sebagai berikut:
a. Jenis penghuni Anak, Wanita, Pemuda/Dewasa
b. Kapasitas Penghuni (Padat, Sedang atau Sedikit)
c. Kedudukan Lapas Di Suatu Wilayah Propinsi, Kota/Kabupaten
d. Model Pembinaan berdasarkan jenis penghuni dan tindak pidana yang dilakukan.
e. Model Kegiatan Kerja berdasarkan jenis penghuni
f. Model Pengamanan berdasarkan jenis penghuni
2.5.3 Indikator Keberhasilan
a. Adanya perubahan atau revisi terhadap ketentuan organisasi dan tata kerja Lembaga
Pemasyarakatan yang diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga
Pemasyarakatan yang mengatur tipe dan struktur organisasi yang berbeda berdasarkan
klasifikasi lapas, jenis penghuni Lapas dan model pembinaan yang diselenggarakan.
b. Adanya pembuatan pola dan klasifikasi Lapas untuk seluruh UPT Lapas di Indonesia oleh
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan termasuk aturan mengenai peningkatan Rutan menjadi
Lapas
http://www.djpp.depkumham.go.id
3. Penyesuaian Struktur dalam rangka Efektivitas Kerja Organisasi
3.1 Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebagai organisasi yang mempunyai kapasitas mengendalikan
tugas dan fungsi teknis pemasyarakatan dalam kenyataanya masih menyimpan permasalahan terutama
dalam perencanaan atau pembentukan direktorat di organisasi. Seperti halnya di UPT di Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan ada dua Direktorat yang tugas dan fungsinya terlihat sama yakni Direktorat
Bina Khusus Narkotika dan Direktorat Perawatan. Guna efisiensi terhadap pelaksanaan tugas dan
tanggungjawab teknis maka sebaiknya kedua unit kerja tersebut dapat disatukan.
Sama halnya di organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, di setiap unit pelaksana teknis Lapas
terdapat dua sub organisasi yang berbeda namun menyelenggarakan tugas yang sama. Kedua sub
organisasi itu adalah Kesatuan Pengamanan Lapas (KPLP) yang melaksanakan fungsi teknis
penyelenggaraan keamanan dan Administrasi Keamanan dan Tata Tertib yang menjalankan fungsi
adminstratif keamanan. Meskipun kedua sub organisasi ini mempunyai hubungan kerja yang erat
namun secara struktur keduanya tidak ditempatkan dalam satu kesatuan unit kerja melainkan menjadi
dua unit kerja yang berbeda dan berdiri sendiri. Secara empiris sering terjadi benturan karena masingmasing
unit merasa lebih utama dalam struktur keorganisasian.
Organisasi dan tata kerja kedua unit kerja ini diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga
Pemasyarakatan. Namun demikian khusus untuk Kesatuan Pengamanan juga tunduk pada Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.08.PR.07.10 Tahun 1983 Tentang Organisasi dan
Tata Kerja Satuan Pengamanan Dalam Lingkungan Departemen Kehakiman.
3.2 Saran Tindak
Dua unit kerja KPLP dan Administrasi Kemanaan dan Tata Tertib yang menjalankan tugas yang sama
dengan fungsi berbeda seharusnya dijadikan satu unit kerja saja berdasarkan eratnya hubungan kerja
dari kedua unit tersebut. Kondisi yang ideal dalam struktur organisasi adalah masuknya Bidang atau
Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib menjadi satu nomenklatur saja yakni menjadi KPLP.
Dengan demikian struktur organisasi menjadi ramping struktur kaya fungsi.
3.3 Indikator Keberhasilan
Adanya penggabungan unit kerja KPLP dan Administrasi Keamanan dan Tata Tertib menjadi satu
unit kerja dengan alasan eratnya hubungan kerja antara kedua unit tersebut. Nomenklatur
Administrasi dan Tata Tertib difusikan menjadi satu unit saja menjadi unit KPLP saja.
Penggabungan tersebut menjadi bagian dari revisi Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga
Pemasyarakatan
4. Deskripsi Kerja dan Standar Operasional Prosedur (SOP)
4.1 Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
Deskripsi kerja (job description) untuk setiap jabatan secara umum telah diatur dalam ketentuan
mengenai organisasi dan tata kerja masing-masing organisasi pemasyarakatan baik di Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan, Kanwil Departemen Hukum dan HAM yang terkait dengan Divisi
Pemasyarakatan dan unit-unit pelaksana teknis pemasyarakatan dibawahnya. Dalam rangka
menguraikan deskripsi kerja diperlukan adanya standar operasional prosedur yang mengakomodasi
ketentuan-ketentuan teknis yang digariskan dalam organisasi dan tata kerja. Standar Operasi Prosedur
yang ada saat ini masih bersifat parsial dan belum lengkap. Yang dimaksud dengan parsial adalah
terpisah-pisah dalam aturan-aturan yang dikeluarakan oleh Direktorat Jenderal baik yang berbentuk
keputusan maupun edaran. Selain itu saat ini ada juga Standar Operasional Prosedur yang telah dibuat
http://www.djpp.depkumham.go.id
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan dijadikan pedoman dalam pelaksanaan tugas-tugas
Pemasyarakatan di UPT, ketentuan tersebut tertuang dalam bentuk Prosedur Tetap (PROTAP).
Selain ditingkat UPT kiranya deskripsi kerja dan standar operasional prosedur di Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan sendiri perlu diperhatikan dan dianalisis lebih lanjut. Masih tumpang tindihnya
pengaturan dan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi antara masing-masing Direktorat, Sub Direktorat
dan seksi-seksi sebagai akibat kurang efisiennya struktur organisasi menjadi permasalahan yang perlu
dibenahi.
Selain standar operasional yang berkaitan dengan kegiatan organisasi struktural diperlukan juga standar
operasional yang berbentuk manual atau pedoman yang berhubungan pelaksanaan fungsi-fungsi teknis
pemasyarakatan dimasing-masing bidang baik itu di Lapas, Bapas, Rutan hingga Rupbasan. Hal ini
dimungkinkan sebagai upaya untuk menjelaskan kepada petugas apa dan bagaimana suatu tugas dan
fungsi teknis itu dijalankan. Sisi positif dari adanya pedoman ini untuk menutupi lemahnya
peningkatan kualitas SDM melalui Diklat-Diklat teknis yang dirasakan kurang penyelenggaraannya.
Pedoman yang dimaksud seperti pedoman pelaksanaan tugas pembimbing kemasyarakatan, pedoman
pelaksanaan pidana pengganti denda, pedoman penyimpanan dan perlakuan serta perawatan barang
sitaan, pedoman pelaksanaan pemberian bantuan hukum bagi tahanan dan WBP, pedoman
penyelenggaraan penggeledahan bagi pengunjung, pedoman penyelenggaraan pengamanan di lembaga
pemasyarakatan dan pedoman penerimaan pengaduan dan kunjungan serta pedoman-pedoman teknis
lainnya.
4.2 Saran Tindak
Pada dasarnya deskripsi kerja yang kemudian diuraikan kembali secara detail dalam standar
operasional prosedur dibuat berdasarkan ketentuan yang termuat dalam organisasi dan tata kerja baik
ditingkat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kadiv Pemasyarakatan di Kanwil Departemen Hukum
dan HAM dan unit pelaksana teknis seperti Lapas, Bapas, Rutan dan Rupbasan. Saat ini standar
operasional prosedur yang dibuat berdasarkan sistematika deskripsi kerja dalam organisasi dan tata
kerja dalam organisasi Pemasyarakatan belum sempurna sebagai contoh dalam PROTAP ketentuan
mengenai Rupbasan tidak banyak diuraikan prosedur per-unit kerjanya sehingga perlu dilengkapi
demikian juga untuk unit pelaksana teknis. Contoh lain adalah di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
sendiri yang hingga kini belum ada standar operasional prosedur perbidang. Disamping itu untuk
mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi teknis pemasyarakatan diperlukan standar atau pedoman
yang aplikatif agar petugas mempunyai arahan mengenai apa dan bagaimana suatu tugas teknis
dilaksanakan.
Sehubungan dengan adanya program reformasi organisasi pemasyarakatan maka seluruh ketentuan
organisasi dan tata kerja baik ditingkat direktorat hingga pada tingkat unit pelaksana teknis
Pemasyarakatan akan mengalami perubahan. Tentunya ini dijadikan momentum yang tepat untuk
menghimpun atau membuat satu standar operasional prosedur yang terpadu untuk seluruh organisasi
pemasyarakatan baik dalam kerangka administrasi maupun teknis sehingga dapat dijadikan pedoman
bersama dalam efektifitas pelaksanaan tugas dan fungsi pemasyarakatan ke depan. Penyusunan standar
operasional prosedur ini perlu memperhatikan dan menyesuaikan dengan Pola Bindalmin yang sedang
disusun oleh Sekertaris Jenderal melalui Biro Perencanaan.
4.3 Indikator Keberhasilan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan membuat standar operasional prosedur berdasarkan deskripsi kerja
yang diatur dalam organisasi dan tata kerja diseluruh unit organisasi Pemasyarakatan mulai tingkat
Direktorat Jenderal hingga ke unit pelaksana teknis. Standar operasional ini mencakup juga standar
yang berhubungan pelaksanaan tugas dan fungsi teknis pemasyarakatan yang dituangkan dalam bentuk
pedoman atau juklak dan juknis
http://www.djpp.depkumham.go.id
5. Kelompok Jabatan Fungsional Lain
5.1 Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
Jabatan fungsional dilingkungan Pegawai Negeri Sipil (PNS) diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 16 tahun 1994. menurut PP tersebut jabatan fungsional adalah suatu kedudukan yang
menunjukan tugas dan tanggung jawab, wewenang dan hak seorang PNS dalam satuan organisasi yang
pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan /atau ketrampilan tertentu serta bersifat mandiri.
Pada dasarnya organisasi pemasyarakatan sangat membutuhkan tenaga-tenaga fungsional sebagaimana
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebut saja tenaga fungsional dokter untuk Rutan,
Lapas dan Bapas. Tenaga fungsional pekerja sosial baik di Lapas atau Bapas dan Rupbasan, tenaga
arsiparis, tenaga komputer, psikolog, guru, bendaharawan dan tenaga fungsional penting lainnya yang
dibutuhkan oleh organisasi pemasyarakatan.
Permasalahannya pengorganisasian tenaga fungsional di unit pelaksana teknis sebagian belum tertata
dengan baik. Dalam struktur organisasi Kantor Wilayah Departemen Kehakiman terlihat ada bagian
Kelompok Jabatan Fungsional yang kedudukannya langsung bertanggungjawab kepada Kakanwil.
Tetapi pada tingkatanUPT seperti Rutan, Lapas dan Bapas, dan Rupbasan tidak terdapat struktur
semacam itu. Justru tenaga fungsional sangat berperan besar dalam mendukung tugas dan fungsi
pemasyarakatan terutama dalam ranah perawatan dan pelayanan, pembimbingan dan pembinaan di
unit-unit pelaksana teknis. Ketiadaan struktur tersebut mengakibatkan jabatan fungsional lain tersebut
tidak terorganisir secara baik. Misalnya jabatan fungsional dokter di Lapas diletakkan dibawah
koordinasi seksi bimbingan kemasyarakatan.
Di sisi lain penghargaan terhadap jabatan fungsional yang telah mendukung kerja-kerja
pemasyarakatan dirasakan belum maksimal. Sebagai contoh tunjangan jabatan fungsional seperti
dokter, psikolog, pekerja sosial telah diatur secara standard oleh Pemerintah melalui Keputusan
Presiden. Namun tunjangan fungsional yang diberikan kepada mereka yang bekerja di Departemen
Hukum dan HAM dirasakan belum sesuai dengan ketentuan yang diatur tersebut. Jika hal tersebut
tidak mendapatkan perhatian secara memadai, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kinerja
tenaga fungsional di lapangan.
5.2 Rekomendasi
Dengan kondisi serta permasalahan yang terjadi, maka sudah seharusnya Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan membuat struktur tersendiri untuk jabatan fungsional lain di tingkat UPT seperti di
Rutan, Lapas dan Bapas serta Rupbasan. Kedudukan kelompok jabatan fungsional tersebut berada dan
bertanggungjawab langsung kepada kepala UPT. Jumlah tenaga fungsional ditentukan kebutuhan dan
beban kerja ditiap-tiap unit perlaksana teknis. Tiap-tiap jabatan fungsional dikoordinasikan oleh tenaga
fungsional senior yang ditunjuk oleh kepala UPT.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu mendorong agar Departemen Hukum dan HAM melalui
Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan HAM melakukan peninjauan terhadap besarnya
tunjangan dan penghargaan yang diterima oleh seluruh jabatan fungsional yang mengabdi di
Pemasyarakatan. Besarnya penghargaan atau tunjangan disesuaikan dengan Keputusan Presiden yang
berlaku dan tidak boleh kurang dari itu. Hal itu secara positif meningkatkan kinerja dan menimbulkan
daya tarik untuk berkarir di Departemen Hukum dan HAM.
5.3 Indikator Keberhasilan
a. adanya struktur jabatan fungsional dalam struktur organisasi dan tata kerja di unit-unit
pelaksana teknis. Jabatan fungsional tersebut berkedudukan dan bertanggungjawab kepada
Kepala unit pelaksana teknis
http://www.djpp.depkumham.go.id
b. Departemen Hukum dan HAM memberikan tunjangan kepada seluruh jabatan fungsional yang
berkarier di pemasyarakatan berdasarkan standard tunjangan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku


BABV
MANAJEMEN SUMBER DAYAMANUSIA
Manajemen Sumber Daya Manusia adalah kebijakan dan praktik untuk menentukan aspek ”manusia”
atau sumber daya manusia dalam posisi manajemen, termasuk merekrut, menyaring, melatih, memberi
penghargaan dan penilaian. Manajemen sumber daya manusia secara umum bertujuan untuk
memastikan bahwa organisasi mampu mencapai keberhasilan melalui orang (Sedarmayanti, “Manajemen
Sumber Daya Manusia; Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil”; 2007). Dalam kerangka
reformasi birokrasi dalam organisasi Pemasyarakatan aspek manajemen sumber daya manusia menjadi
titik perhatian utama yang menjadi pokok uraian dalam Bab ini yang meliputi rekrutmen, pembinaan
karier, pendidikan dan pelatihan serta perencanaan gaji dan tunjangan.
A. Pengadaan Pegawai Pemasyarakatan
Pada dasarnya pengadaan pegawai dimaksudkan untuk mengisi formasi yang lowong di setiap unit
kerja baik ditingkat pusat maupun di daerah. Pengadaan pegawai dilaksanakan dalam beberapa
tahapan mulai dari tahap perencanaan, pengumuman, pelamaran, penyaringan, pengangkatan calon
pegawai negeri sipil hingga diangkat menjadi pegawai negeri sipil.
1.Perencanaan Kebutuhan Pegawai
1.1 Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
Pada dasarnya setiap akhir tahun Lapas akan mengirimkan data kebutuhan SDM sesuai bidang yang
diperlukan ke Kanwil dengan tembusan kepada Dirjen Pemasyarakatan. Oleh Dirjen Pemasyarakatan
data tersebut diolah dan disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Departemen sebagai bahan menyusun
formasi pegawai negeri sipil (PP Nomor 54 Tahun 2003) sebagai bagian dari rencana pengadaan calon
pegawai negeri sipil pada tahun anggaran yang akan datang. Formasi tersebut setelah diolah kembali
oleh Sekjen Departemen Hukum dan HAM disampaikan kepada Menteri sebagai Pembina
Kepegawaian selanjutnya draft formasi tersebut diusulkan, dibahas dan ditetapkan oleh Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara. Masalahnya data formasi pegawai Pemasyarakatan yang telah
diusulkan kepada Sekretaris Jenderal pada umumnya selalu berubah dan tidak sesuai dengan kebutuhan
organisasi pemasyarakatan. Kondisi ini berimbas pada pemenuhan jumlah dan mutu sumber daya
manusia dalam organisasi pemasyarakatan secara keseluruhan. Asumsi yang berkembang adalah Biro
Kepegawaian pada Sekretariat Jenderal Departemen dalam menyusun rencana formasi pegawai
pemasyarakatan tidak menggunakan analisis kebutuhan yang tepat yang disampaikan oleh Direktorat
Jenderal. Analisis kebutuhan dalam proses rekrutmen merupakan kegiatan untuk mendapatkan
landasan guna penerimaan dan penempatan para pegawai yang didalamnya mengandung deskripsi
jabatan dan spesifikasi jabatan (Alex S. Nitisemito,” Manajemen Personalia” ; 1982). Dimana deskripsi
jabatan adalah dokumen yang memuat informasi tentang tugas, kewajiban dan tanggungjawab suatu
pekerjaan/jabatan. Sedangkan spesifikasi jabatan merupakan kualifikasi minimum yang harus dimiliki
seseorang agar dapat melakukan pekerjaan tertentu
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Nomor 97
Tahun 2000 Tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil menyebutkan bahwa Formasi masing-masing
satuan organisasi Negara disusun berdasarkan analisis kebutuhan dan penyediaan pegawai sesuai
dengan jabatan yang tersedia, dengan memperhatikan norma, standar, dan prosedur yang ditetapkan
oleh Pemerintah. Analisis kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah
tersebut adalah sebagai berikut:
a. jenis pekerjaan;
b. sifat pekerjaan;
c. analisis beban kerja dan perkiraan kapasitas seorang Pegawai Negeri Sipil dalam jangka waktu
tertentu;
d. prinsip pelaksanaan pekerjaan; dan
e. peralatan yang tersedia.
Sedangkan dalam Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara tentang Ketentuan Pelaksana PP
No.97 tahun 2000 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil Sebagaimana telah diubah dengan PP. No.54
tahun 2003 Lampiran I, Nomor: 09 tahun 2001 disebutkan bahwa analisis kebutuhan selain dilakukan
berdasarkan ketentuan diatas ditambahkan satu ketentuan lagi yakni perhatian terhadap kemampuan
keuangan negara
Dalam kerangka reformasi pada semua organisasi Pemasyarakatan maka setidaknya ada ukuran yang
jelas mengenai perlunya analisis kebutuhan dalam menyusun formasi, sehingga tidak terjadi lagi
kondisi dimana yang dibutuhkan tenaga dokter yang datang tenaga tata usaha, atau yang dibutuhkan
tenaga keamanan namun yang dibutuhkan tidak kunjung dipenuhi. Untuk mendukung perencanaan
formasi kebutuhan pegawai di Departemen Hukum dan HAM, saat ini Sekretariat Jenderal Departemen
melalui Biro Kepegawaian sedang menyusun perencanaan formasi kebutuhan pegawai dilingkungan
Departemen
1.2 Saran Tindak
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu membuat standar analisis kebutuhan untuk petugas
pemasyarakatan selaku pejabat fungsional penegak hukum yang berpedoman pada Pasal 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Nomor 97 Tahun 2000 Tentang
Formasi Pegawai Negeri. Disamping itu Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu juga membuat
standar analisis jabatan dengan dasar pemikiran bahwa Jabatan Fungsional Penegak Hukum bagi
petugas Pemasyarakatan adalah barang lama model baru karena itu dibutuhkan analisis jabatan
mengingat adanya perubahan struktur organisasi unit pelaksana teknis berdasarkan karakteristik tugas
dan fungsinya masing-masing.
Analisis jabatan merupakan proses yang sistematis untuk menentukan ketrampilan, tugas dan
pengetahuan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan tertentu dalam organisasi. Tujuan analisis
jabatan untuk memperoleh jawaban:
1. tugas fisik dan mental apa yang dilakukan oleh karyawan
2. kapan pekerjaan harus diselesaikan
3. dimana pekerjaan dilakukan
4. bagaimana karyawan melakukan pekerjaan
5. untuk apa pekerjaan dilakukan
6. persyaratan apa yang diperlukan
Dalam penyusunan standar analisis jabatan ini diperlukan juga rumusan spesifikasi jabatan yang berisi:
a. persyaratan pendidikan
b. pengalaman
c. sifat kepribadian
d. kemampuan fisik
Analisis jabatan merupakan uraian teknis dan mendalam sebagai kerangka dalam membuat analisis
kebutuhan
1.3 Indikator Keberhasilan
a. Adanya standard analisis kebutuhan sebagai bahan penyusunan dan perencanaan formasi
pegawai pemasyarakatan yang dapat dijadikan pedoman bagi unit-unit pelaksana teknis di
daerah
http://www.djpp.depkumham.go.id
b. Adanya standar analisis jabatan
2. Kebutuhan Persyaratan Khusus Dalam Rekrutmen Pegawai Pemasyarakatan
2.1 Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
Rekrutmen didefinisikan sebagai serangkaian aktifitas mencari dan memikat pelamar kerja dengan
motivasi, kemampuan, keahlian dan pengetahuan yang diperlukan guna menutupi kekurangan yang
teridentifikasi dalam perencanaan kepegawaian Ambar Teguh Sulistiyani dan Rosidah, “Manajemen
Sumber Daya Manusia ; Konsep Teori dan Pengembangan dalam Konteks Organisasi Publik”: 2003).
Rekrutmen pegawai pemasyarakatan saat ini secara terpusat dilakukan oleh Sekretariat Jenderal
Departemen Hukum dan HAM dimana dalam pelaksanaanya memaksimalkan peran Kanwil
Departemen Hukum dan HAM. Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri
Sipil telah mengatur mengenai syarat-syarat umum yang harus dipenuhi pelamar. Syarat yang
harus dipenuhi oleh setiap pelamar adalah:
a. Warga Negara Indonesia;
b. Berusia serendah-rendahnya 18 (delapan belas) tahun dan setinggi-tingginya 35 (tiga puluh
lima) tahun;
c. Tidak pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan;
d. Tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan
hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, atau diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai
swasta;
e. Tidak berkedudukan sebagai Calon/Pegawai Negeri;
f. Mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian dan ketrampilan yang diperlukan;
g. Berkelakuan baik;
h. Sehat jasmani dan rohani;
i. Bersedia ditempatkan di Seluruh wilayah Negara Republik Indonesia atau negara lain yang
ditentukan oleh Pemerintah; dan
j. Syarat lain yang ditentukan dalam persyaratan jabatan
Rekrutmen pegawai Departemen Hukum dan HAM tunduk pada ketentuan Pasal 6 tersebut.
Pengalaman selama ini Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan HAM kurang memperhatikan
karakteristik khusus yang harus dipenuhi dalam merekrut pegawai untuk memenuhi kebutuhan bagi
pegawai pemasyarakatan. Karakteristik khusus tersebut berkenaan dengan fungsi yang diemban
oleh petugas pemasyarakatan disetiap unit-unit pelaksana teknis misalnya Rutan mengemban fungsi
pelayanan, Bapas mengemban fungsi pembimbingan, Lapas mengemban fungsi pembinaan dan
ketrampilan kerja, Rupbasan mengemban fungsi perawatan barang bukti. Untuk melaksanakan
tugas dan fungsi tersebut dibutuhkan sumber daya manusia yang mempunyai keahlian. Rutan
misalnya membutuhkan seorang Sarjana Hukum karena ada seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan
Hukum, Bapas membutuhkan profesi psikologi anak karena fungsi pendampingan dan pemberi
pertimbangan dalam persidangan, demikian juga pada Lapas yang membutuhkan dokter, psikiater,
psikolog dan tenaga fungsional lain seperti guru misalnya, Rupbasan yang membutuhkan ahli kimia
untuk perawatan atau pengelolaan barang bukti berupa barang kimia dan obat-obatan terlarang.
Disisi lain petugas pemasyarakatan harus mengetahui dan menguasai keseluruhan tugas dan fungsi
tersebut unit pelaksana teknis tersebut secara utuh sehingga dapat menjadi insan penegak hukum
yang profesional.
2.2 Saran Tindak
Perlunya persyaratan khusus adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No.
12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dimana dikatakan bahwa Petugas Pemasyarakatan
merupakan Pejabat Fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang
pelayanan, pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan serta perawatan. Dengan demikian
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu membuat ketentuan-ketentuan yang dijadikan
http://www.djpp.depkumham.go.id
persyaratan khusus yang digunakan dalam rekrutmen petugas pemasyarakatan. Selain merekrut
sarjana dari disiplin ilmu yang lain maka unsur utama dalam rekruitmen petugas pemasyarakatan
adalah Sarjana Hukum mengingat tugas dan fungsinya sebagai Jabatan Fungsional Penegak
Hukum telah diatur dalam UU Pemasyarakatan. Sedangkan yang tidak termasuk dalam kriteria
jabatan fungsional diarahkan untuk menduduki jabatan administrasi dan tata usaha.
2.3 Indikator Keberhasilan
a. Adanya rumusan yang dibuat oleh Dirjen Pemasyarakatan mengenai persyaratan-persyaratan khusus
bagi pelamar dalam tahap rekrutmen pegawai Departemen Hukum dan HAM khususnya untuk
petugas pemasyarakatan
b. Digunakannya persyaratan khusus tersebut dalam proses pengadaan pegawai petugas
pemasyarakatan kedepan
B. Pembinaan Karier
1. Pola Karier Petugas Pemasyarakatan
1.1 Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
Pembinaan karier dalam penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri Sipil dilaksanakan berdasarkan
sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja (Undang-undang
Nomor 43 tahun 1999). Sistem pembinaan karier yang harus dilaksanakan adalah sistem pembinaan
karier tertutup dalam arti negara yang memungkinkan perpindahan Pegawai Negeri Sipil dari
Departemen / Lembaga / Propinsi / Kabupaten / Kota yang satu ke Departemen / Lembaga / Propinsi /
Kabupaten / Kota yang lain atau sebaliknya, terutama untuk menduduki jabatan-jabatan yang bersifat
manajerial. Pembinaan karier bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dilaksanakan berdasarkan ketentuan
Pola Karier yang menggambarkan alur pengembangan karier yang menunjukan keterkaitan dan
keserasian antara Jabatan, Pangkat, Pendidikan, Pelatihan Jabatan, serta Masa Jabatan seorang PNS
sejak pengangkatan pertama dalam jabatan tertentu hingga pensiun (PP Nomor 13 Tahun 2002)..
Pasal 3 ayat (2) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.KP.01.05 Tahun 1994
Tanggal 8 Pebruari 1994 tentang Pola Penjenjangan Karier Pejabat Pemasyarakatan Departemen
Kehakiman menyebutkan Persyaratan dan unsur pendukung pada setiap jenjang adalah :
a. Kemampuan dan prestasi kerja;
b. Pendidikan, kursus atau latihan;
c. Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3);
d. Senioritas;
e. Kesehatan, dan
f. Penilaian dan Pertimbangan khusus dari Menteri Kehakiman
Meskipun aturan pola karier sudah sangat lengkap, kondisi ketidaktertiban sangat dirasakan pada
pelaksanaan pembinaan karier petugas Pemasyarakatan. Disisi lain indikasi adanya kolusi/ nepotisme
dalam proses pembinaan karier juga terjadi dimana ada pegawai Lapas yang selalu melakukan
pendekatan dengan pejabat di Kanwil, di Ditjen Pemasyarakatan dan di Sekjen agar mendapatkan
jabatan yang diinginkan. Kondisi ini secara psikologis berpengaruh pada etos dan semangat kerja
pegawai lain yang hanya berharap pada proses keterbukaan dan objektif serta akuntabilitas penilaian
terhadap kerja-kerja yang sudah mereka lakukan.
1.2. Saran Tindak
Pertama harus ditegaskan terlebih dahulu bahwa pada dasarnya instrumen atau aturan-aturan mengenai
pola karier yang saat ini berjalan sebenarnya tidak bermasalah. Prinsip pembinaan karier dalam
penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan
sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja sebagaimana diamanatkan oleh Undangundang
justru kurang berjalan dengan baik. Permasalahan terletak pada mekanisme implementasi
pembinaan karier yang dianggap kurang transparan, kurang objektif dan kurang akuntabel. Oleh
karena itu Departemen Hukum dan HAM melalui saluran pengawasan struktural perlu melakukan
pengawasan yang seksama terhadap pelaksanaan tugas-tugas pembinaan karier dan pengendalian
http://www.djpp.depkumham.go.id
kepangkatan dijajaran Biro Kepegawaian Sekertariat Jenderal Departemen.
Dalam hal pengelolaan pembinaan karier petugas pemasyarakatan masih dalam kewenangan Biro
Kepegawaian Sekertariat Jenderal Departemen maka Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebagai
pihak yang mengusulkan orang yang akan diangkat atau menduduki jabatan tertentu perlu menyiapkan
mekanisme kontrol terhadap petugas-petugas Pemasyarakatan yang dipromosikan untuk menduduki
jabatan tersebut. Di masa mendatang petugas pemasyarakatan harus diarahkan untuk lebih profesional,
maka perlu disiapkan satu Instrumen Penilaian Kinerja Personal sebagai instrumen kontrol terhadap
pelaksanaan tugas dan fungsinya. Instrumen ini dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur
objektifitas terkait dengan kepentingan pembinaan karier pegawai, dimana usulan dan penetapan
pemberian hukuman atau pemberian penghargaan terhadap petugas pemasyarakatan dapat dilakukan
secara obyektif dengan syarat-syarat yang sesuai dengan pelaksanaan tugas dan fungsinya masingmasing.
Instrumen penilaian kinerja ini berbeda dengan format Daftar Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaan(DP3) yang berlaku saat ini perbedaannya terletak pada unsur-unsur penilaian dimana
instrumen penilaian kinerja lebih difokuskan kepada penyelenggaraan tugas dalam jabatan yang
sebelumnya telah dirumuskan dalam analisis jabatan yang kemudian terakomodir dalam deskripsi
jabatan. Deskripsi jabatan ini adalah dokumen yang memuat informasi tentang tugas, kewajiban dan
tanggungjawab suatu pekerjaan/jabatan. Pada dasarnya manfaat penilaian kinerja adalah sebagai
berikut :
a. Perbaikan kinerja
b. Penyesuaian kompensasi
c. Pemberian reward
d. Keputusan penempatan
e. Kebutuhan untuk pelatihan dan pengembangan
f. Perencanaan dan pengembangan karier
g. Memberikan kesempatan kerja yang sama
h. Menjawab tantangan dari luar
i. Sebagai sarana menunggu umpan balik terhadap aktifitas sumber daya manusia
1.3.Indikator Keberhasilan
a. Adanya peningkatan pengawasan yang dilakukan oleh Departemen Hukum dan HAM dengan
menindak atau menghukum pegawai yang terlibat dalam praktek KKN dalam proses
pengendalian kepangkatan baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
b. Adanya Instrumen Penilaian Kinerja personal petugas pemasyarakatan yang disusun oleh
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan berdasarkan analisis jabatan dan deskripsi kerja. Agar
dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur objektifitas pembinaan karier pegawai, termasuk
pemberian hukuman atau pemberian penghargaan terhadap petugas pemasyarakatan yang
berprestasi.
2. Jabatan Fungsional Penegak Hukum bagi Petugas Pemasyarakatan
2.1.Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa
petugas pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas
pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. Pemberian label pejabat
fungsional penegak hukum kepada petugas pemasyarakatan adalah suatu langkah positif yang
berorientasi kepada efektifitas pelaksanaan petugas pemasyarakatan dalam menjalankan tugas dan
fungsinya. Permasalahannya jabatan fungsional penegak hukum tersebut hanya sebatas pengaturan
tetapi tidak diimplementasikan oleh Departemen Hukum dan HAM. Sebagai penegak huku,
kedudukan petugas pemasyarakatan adalah sejajar dengan aparat penegak hukum lainnya seperti polisi,
jaksa, dan hakim. Dalam sistem peradilan pidana polisi, jaksa dan hakim serta petugas pemasyarakatan
mempunyai hubungan kerja seimbang dan masing-masing mempunyai kewenangan yang tidak dimiliki
oleh unsur penegak hukum lainnya. Polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut serta Hakim
sebagai pemutus apakah seorang bersalah atau tidak. Jika seorang bersalah maka orang tersebut harus
menjalankan hukuman dimana kewenangan pembinaannya dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan.
http://www.djpp.depkumham.go.id
Kondisi kesetaraan penegak hukum bagi petugas Pemasyarakatan dengan jabatan penegak hukum
lainnya seharusnya tidak dilihat secara parsial namun harus dilihat dengan perspektif yang utuh sebagai
satu kesatuan sistem. Peran petugas Pemasyarakatan dalam hukum dapat dilihat dalam sistem peradilan
pidana. Sebagai contoh keterlibatan petugas pemasyarakatan bisa dilihat ketika seorang anak
bermasalah dengan hukum kemudian berurusan dengan penyidik (polisi) maka peran Bapas yang
menyelenggarakan pendampingan terhadap anak tersebut seharusnya dibenarkan mengingat tugas
penelitian kemasyarakatan yang dilakukan akan berperan pada tahap persidangan.
Demikian juga di rutan ketika seorang bermasalah dengan hukum seorang akan ditahan baik ditingkat
penyidikan atau penuntutan maka di Rutan ada bidang bantuan hukum dan penyuluhan hukum yang
berperan mengarahkan orang yang bermasalah agar dapat memahami segala ketentuan yang
menyangkut hak dan kewajibannya dalam proses hukum yang sedang dijalaninya guna menghindari
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara melalui petugas penegak hukum
lain. Kepala Rutan atau Kalapas dapat melakukan pembinaan bagi orang yang di hukum di samping itu
berwenang untuk mengeluarkan seseorang demi hukum atau membebaskannya apabila masa tahanan
atau hukumannya sudah selesai, memberikan hak untuk mendapatkan cuti menjelang bebas,
pembebasan bersyarat dan diskresi lainnya yang tidak ada pada aparat penegak hukum lainnya. Tidak
salah jika petugas Pemasyarakatan mempunyai tugas dan fungsi seperti pelayanan, pembinaan,
pembimbingan dan perawatan sebagai koridor inti pelaksanaan tugasnya sebagai Penegak hukum.
Dalam kondisi saat ini seharusnya jabatan petugas pemasyarakatan telah memenuhi kualifikasi sebagai
jabatan fungsional apabila diukur dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 16
Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri dan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 87 Tahun 1999 Tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil. Dalam
menjalankan tugas dan fungsinya petugas pemasyarakatan dapat dikategorikan dalan dua jabatan
fungsional yakni jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional ketrampilan. Jabatan fungsional
keahlian adalah jabatan fungsional yang pelaksanaan tugasnya :
a. Mensyaratkan kualifikasi profesional dengan pendidikan serendah-rendahnya berijazah
sarjana (Strata 1);
b. Meliputi kegiatan yang berkaitan dengan penelitian dan pengembangan, peningkatan, dan
penerapan konsep dan teori serta metode operasional dan penerapan disiplin ilmu
pengetahuan yang mendasari pelaksanaan tugas dan fungsi jabatan fungsional yang
bersangkutan;
c. Terikat pada etika profesi tertentu yang ditetapkan oleh ikatan profesinya.
Petugas Pemasyarakatan yang dapat dikategorikan dalam jabatan fungsional keahlian ini adalah
petugas Pemasyarakatan yang menjalankan fungsi Pelayanan Pembimbingan dan Pembinaan
Pemasyarakatan serta Perawatan
Jabatan Fungsional keterampilan adalah jabatan fungsional yang pelaksanaan tugasnya:
a) Mensyaratkan kualifikasi teknisi profesional dan/atau penunjang profesional dengan
pendidikan serendah-rendahnya Sekolah Menengah Umum atau Sekolah Menengah
Kejuruan dan setinggi-tingginya setingkat Diploma III (D3);
b) Meliputi kegiatan teknis operasional yang berkaitan dengan penerapan konsep atau metode
operasional dari suatu bidang profesi;
c) Terikat pada etika profesi tertentu yang ditetapkan oleh ikatan profesinya
Untuk kategori jabatan fungsional ketrampilan ini diarahkan pada petugas Pemasyarakatan yang
menjalankan tugas dan fungsi Pengamanan dan Perawatan.
2.2.Saran Tindak
Perkembangan tugas dan fungsi Pemasyarakatan yang sangat cepat dengan mendasarkan pada
pemenuhan prinsip-prinsip Hak asasi manusia dengan sendirinya menuntut agar organisasi
Pemasyarakatan menyiapkan SDM yang profesional dan berkualitas. Pembentuk UU Pemasyarakatan
http://www.djpp.depkumham.go.id
jauh-jauh hari telah memikirkan kondisi itu oleh karena itu pembentuk UU tidak segan-segan
memberikan standar yang tinggi bagi petugas pemasyarakatan sebagai jabatan fungsional penegak
hukum. Untuk menjawab tantangan dalam menjalankan tugas dan fungsi Pemasyarakatan kedepan
pemenuhan perintah UU agar jabatan petugas pemasyarakatan dijadikan sebagai jabatan fungsional
penegak hukum secepatnya diwujudkan. Oleh karena itu Departemen Hukum dan HAM harus
secepatnya mendorong agar Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara segera menetapkan petugas
Pemasyarakatan sebagai jabatan fungsional penegak hukum.
Konsekuensi dari peningkatan status tersebut maka secepatnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
membuat dan menyusun :
· Analisis jabatan dan deskripsi jabatan fungsional petugas Pemasyarakatan
· Angka Kredit jabatan fungsional penegak hukum petugas Pemasyarakatan
· Standar jenjang jabatan fungsional penegak hukum petugas Pemasyarakatan
· Pedoman penyusunan tunjangan fungsional petugas Pemasyarakatan
2.3.Indikator Keberhasilan
a. Adanya Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara yang menetapkan petugas
pemasyarakatan sebagai jabatan fungsional pegawai negeri sipil dan menjadi bagian dalam rumpun
hukum dan Peradilan yang kegiatannya berhubungan dengan penelitian, peningkatan atau
pengembangan konsep, teori, dan metode operasional, serta penerapan ilmu pengetahuan di bidang
hukum, perancangan peraturan perundang-undangan, serta pemberian saran dan konsultasi pada
para klien tentang aspek hukum, dan pelaksanaan peradilan.
b. Adanya konsep atau rancangan tentang:
1) Analisis jabatan dan deskripsi jabatan fungsional petugas Pemasyarakatan
2) Angka Kredit jabatan fungsional penegak hukum petugas Pemasyarakatan
3) Standar jenjang jabatan fungsional penegak hukum petugas Pemasyarakatan
4) Pedoman penyusunan tunjangan fungsional petugas Pemasyarakatan
C. Pendidikan Dan Pelatihan
1. Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
Pendidikan dan Pelatihan Petugas Pemasyarakatan di selenggarakan oleh Badan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Departemen Hukum dan HAM (selanjutnya disebut dengan BPSDM).
Ketentuan organisasi dan tata kerja BPSDM diatur dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Ham R.I
Nomor: M.09-PR.07.10 Tahun 2007 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Hukum Dan
HAM R.I. Guna melaksanakan tugas dan fungsi pendidikan dan pelatihan dalam rangka
pengembangan sumber daya manusia untuk seluruh unit kerja di Departemen Hukum dan HAM maka
organisasi BPSDM terbagi menjadi tiga Pusat yakni:
a. Pusat Pengembangan Kepemimpinan dan Manajemen
b. Pusat Pengembangan Teknis
c. Pusat Pengembangan Fungsional.
Petugas Pemasyarakatan yang diusulkan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan di BPSDM maka
secara umum mengikuti ketentuan Pendidikan dan Pelatihan berdasarkan agenda atau program yang
disusun oleh BPSDM.
Kondisi empiris menunjukan bahwa rata-rata petugas Pemasyarakatan tidak puas dengan
penyelenggaraan diklat yang diselenggarakan oleh BPSDM. Salah satu faktor penyebab tidak
efisiennya penyelenggaraan diklat disebabkan struktur organisasi BPSDM dilakukan dengan
pendekatan sistem fungsi yang terbagi atas Pusat Pengembangan Kepemimpinan dan Manajemen,
Pusat Pengembangan Teknis dan Pusat Pengembangan Fungsional dan HAM, keseluruhan Pusat ini
mengadakan pelatihan untuk seluruh unit utama di Departemen Hukum dan HAM termasuk Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan. Dengan pendekatan fungsi ini kekhususan pengembangan SDM bidang
http://www.djpp.depkumham.go.id
Pemasyarakatan kurang terlaksana dengan baik. Adanya sistem diklat terpusat ini menimbulkan efek
negatif karena masih banyak petugas Pemasyarakatan yang belum mengikuti diklat hingga memasuki
tahap pensiunnya. Fakta ini perlu disikapi secara serius oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Jika diutamakan dengan pendekatan per/bidang misalnya diharapkan pendidikan dan pelatihan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia pegawai pemasyarakatan lebih terarah dan dapat
menunjang kekhususan masing-masing bidang. Yang dimaksud dengan pendekatan per/bidang adalah
spesifikasi pelaksanaan diklat akan terbagi menjadi:
a. Diklat Prajabatan adalah Pendidikan dan Pelatihan yang wajib ditempuh oleh Calon Pegawai
Negeri Sipil di lingkungan Departemen Hukum dan HAM sebagai persyaratan untuk dapat
diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.
b. Diklat Dalam Jabatan. Yang meliputi:
1) Diklat Pembentukan Petugas Pemasyarakatan; Diklat ini diadakan terkait dengan
peningkatan status Petugas Pemasyarakatan sebagai jabatan fungsional penegak hukum oleh
karena itu mereka yang ikut Diklat ini adalah Sarjana Hukum dan apabila lulus dari diklat
ini maka statusnya menjadi petugas Pemasyarakatan. Bagi mereka yang tidak berstatus
fungsional penegak hukum maka sebutannya adalah pegawai Pemasyarakatan
2) Diklat Pimpinan; adalah Pendidikan dan pelatihan yang dipersyaratan bagi pegawai
Pemasyarakatan yang akan diangkat maupun yang sudah menduduki jabatan Struktural di
Organisasi Pemasyarakatan.
3) Diklat Teknis Pemasyarakatan; adalah Pendidikan dan pelatihan untuk mencapai
persyaratan kompetensi teknis yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan
wewenang Pemasyarakatan yang meliputi Pelayanan, Pembimbingan. Pembinaan,
Pengamanan dan Pengelolaan
4) Diklat Tenaga Fungsional Lain; adalah Pendidikan dan pelatihan yang dipersyaratkan untuk
mencapai kompetensi yang sesuai dengan jenis dan jenjang Jabatan Fungsional tertentu
seperti Dokter, Psikolog, Psikiater, Arsiparis, Bendahara dan lain-lain yang mendukung
pelaksanaan tugas dan fungsi Pemasyarakatan
Dengan konsep tersebut maka diharapkan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dapat
meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi Petugas Pemasyarakatan pada khususnya atau
Pegawai Departemen Hukum dan HAM pada umumnya. Sebagai perbandingan sistem dan struktur
organisasi penyelenggaraan diklat seperti ini sudah dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung Republik
Indonesia. Dimana setelah menjadi Badan Diklat akan diturunkan menjadi beberapa Pusat yang
khusus menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan mengikuti sistem dan mekanisme sebagaimana
disebutkan diatas.
Perbaikan pada struktur penyelenggara Diklat tersebut diimbangi dengan penyempurnaan sistem
penyelenggaraan diklat itu sendiri mulai dari aspek seleksi peserta, perbaikan kurikulum,
penyelenggara diklat, pengajar/widyaiswara, metode pengajaran aspek sarana dan prasaran dan aspekaspek
lain pada umumnya. Rendahnya kualitas sumber daya manusia petugas pemasyarakatan menjadi
permasalahan yang ditemui di lapangan. Kondisi ini setidaknya menggambarkan efek negatif dari
penerapan sistem organisasi dan sistem penyelenggaraan diklat yang ada saat ini di Departemen
Hukum dan HAM.
2. Saran Tindak
Departemen Hukum dan HAM perlu menyempurnakan kembali struktur organisasi BPSDM.
Pembagian Pusat berdasarkan fungsi sebagaimana berlaku saat ini dirasakan tidak sesuai dengan arah
untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada. Konsep parsial
seperti tergambar dalam struktur “Pusat” di BPSDM ternyata mengakibatkan tujuan pendidikan dan
pelatihan kurang tercapai karena tidak terintegrasi dengan baik. Oleh karena itu restrukturisasi
organisasi BPSDM sebaiknya menggunakan pendekatan perbidang sehingga penyelenggaraan diklat
menjadi terpadu dalam satu manajemen sehingga tujuan diadakannya pendidikan dan pelatihan secara
maksimal dapat tercapai.
http://www.djpp.depkumham.go.id
Untuk mengakomodasi peningkatan status petugas Pemasyarakatan sebagai jabatan fungsional penegak
hukum maka perlu diadakan diklat khusus yang mana out put yang dihasilkan adalah gelar jabatan
fungsional bukan gelar akademis. Dengan demikian amanat Pasal 8 UU Pemasyarakatan dapat
tercapai tidak saja dalam kapasitas pembinaan karier dan tunjangan fungsionalnya saja tetapi lebih dari
itu sejak awal pembentukannya jabatan fungsional petugas pemasyarakatan benar-benar disiapkan
untuk lebih profesional dalam menjalankan tugas dan fungsi pemasyarakatan. Penyempurnaan sistem
penyelenggaraan diklat mulai dari aspek seleksi peserta, perbaikan kurikulum, penyelenggara diklat,
pengajar/widyaiswara, metode pengajaran aspek sarana dan prasarana harus dimulai oleh BPSDM
kalau tidak mau ketinggalan dalam menghadapi tantangan dunia kerja yang ada saat ini. Setidaknya
BPSDM harus mulai merencanakan dan membuat konsep Pembaruan Sistem Pengembangan Sumber
Daya Manusia Departemen Hukum dan HAM yang didalamnya memuat konsep pembaruan Diklat
bagi Petugas Pemasyarakatan.
Terkait dengan koordinasi penyelenggaraan dan pengelolaan Diklat, maka Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan perlu mendorong agar Departemen Hukum dan HAM melalui BPSDM dapat
berkoordinasi dengan Direktorat terkait dengan penyusunan kurikulum dan semua materi diklat serta
usulan penyelenggaraan jenis diklat yang dibutuhkan oleh petugas pemasyarakatan kepada Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan. Masih dalam kerangka pengembangan sumber daya manusia
pemasyarakatan maka perlu peningkatan penyelenggaraan diklat oleh BPSDM dengan membangun
balai-balai diklat di daerah yang mana penyelenggaraannya bekerjasama dengan Kanwil. Konsep
dapat memperpendek jalur birokrasi pelaksanaan tugas BPSDM sehingga efisiensi dan efektifitas
dalam menciptakan kader petugas pemasyarakatan yang profesional dan siap pakai dapat dilaksanakan.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu menyiapkan konsep pembaruan sistem pendidikan dan
pelatihan bagi petugas pemasyarakatan, selanjutnya konsep itu diserahkan kepada Sekretariat Jenderal
melalui BPSDM agar dapat ditindaklanjuti.
Terkait dengan penentuan peserta diklat oleh Sekertariat Jenderal Departemen Hukum dan HAM maka
diharapkan agar Direktorat Jenderal Pemasyarakatan membuat persyaratan-persyaratan khusus bagi
peserta yang mengikuti pendidikan dan pelatihan. Persyaratan khusus tersebut digunakan oleh Sekjen
dalam melakukan rekrutmen peserta diklat.
3. Indikator Keberhasilan
a. Perubahan struktur organisasi “Pusat” di BPSDM dalam ketentuan organisasi dan tata kerja
BPSDM diatur dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Ham R.I Nomor: M.09-PR.07.10 Tahun
2007 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Hukum Dan HAM R.I dimana
pendekatannya tidak lagi berdasarkan fungsi melainkan berdasarkan bidang dengan penekanan
pada penyelenggaraan diklat terpadu untuk tiap Direktorat Teknis, khususnya untuk Direktorat
Pemasyarakatan .
b. Adanya Kertas kerja Pembaruan Sistem Pengembangan Sumber Daya Manusia Departemen
Hukum dan HAM yang didalamnya memuat konsep pembaruan Diklat bagi Petugas
Pemasyarakatan. program ini bisa dilaksanakan bersama antara BPSDM dengan Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan, salah satunya adalah dalam rangka penyusunan kurikulum dan
penyelenggaraan diklat–diklat teknis yang dilaksanakan oleh BPSDM dilakukan setelah
menerima masukan atau usul dan saran dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
c. Adanya program penguatan kapasitas petugas pemasyarakatan dibidang administrative dan teknis
baik di Rutan, Bapas, Lapas dan Rupbasan yang dilakukan secara rutin dan berkesinambungan
oleh Direktorat Pemasyarakatan maupun oleh kanwil dengan dukungan anggaran yang memadai
d. Diutamakannya peserta diklat yang berasal dari UPT yang beban tugasnya berat namun presentasi
petugas yang mengikuti diklat dari UPT tersebut masih sedikit. Peserta yang mengikuti diklat
sudah melalui proses seleksi dengan persyaratan khusus
http://www.djpp.depkumham.go.id
D. Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP)
AKIP pertama kali dibentuk pada tanggal 24 Oktober 1964 bertujuan untuk menyiapkan kader-kader
pemasyarakatan untuk melaksanakan dan mengembangkan sistem pemasyarakatan sebagai
konsekuensi perubahan dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan berdasarkan
pembaruan konsep tujuan pemidanaan di Indonesia. AKIP adalah perguruan tinggi kedinasan di
Departemen Hukum dan HAM. Pembinaan AKIP secara teknis akademik dilakukan oleh Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pembinaan teknis operasional
dilaksanakan oleh BPSDM.
1. Manajemen Organisasi dan Tata Kerja AKIP
1.1. Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
AKIP secara organisatoris berada dibawah pembinaan dan bertanggungjawab kepada Badan
Pembinaan Sumber Daya Manusia Departemen Hukum dan HAM. Dalam Lampiran Peraturan Menteri
Hukum Dan Ham R.I Nomor: M.09-PR.07.10 Tahun 2007 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja
Departemen Hukum Dan HAM R.I terlihat AKIP diletakan dalam bagan tata struktur sub organisasi di
bawah BPSDM Permasalahannya dalam segi substansi aturan-aturan dalam Organisasi dan tata Kerja
Departemen tidak satu pasalpun yang secara khusus mengatur dan menjelaskan keberadaan AKIP
terutama tata hubungan kerjanya dengan BPSDM.
Organisasi dan Tata Kerja AKIP diatur tersendiri dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor. M. 07-
PR.07.04 Tahun 1999. AKIP adalah perguruan tinggi kedinasan dilingkungan Departemen Hukum dan
HAM yang dipimpin oleh seorang Direktur yang bertanggungjawab kepada Kepala BPSDM. AKIP
mempunyai tugas melaksanakan pendidikan pada jalur pendidikan profesional program Diploma III
yang ditujukan pada keahlian khusus di bidang Pemasyarakatan. AKIP menjalankan fungsi:
a. Pengembangan pendidikan profesional yang ditujukan pada keahlian khusus bidang
pemasyarakatan
b. Penelitian terapan, pengkajian teknologi dan masalah-masalah pemasyarakatan
c. Pengabdian kepada masyarakat secara profesional sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya
d. Pembinaan civitas akademika dan hubungan dengan lingkunganya
e. Pengelolaan administrasi akademi
Melihat ketentuan diatas maka ada dua permasalahan yang perlu dicermati. Yakni kedudukan
pertanggungjawaban Direktur AKIP yang statusnya eselon III langsung bertanggungjawab kepada
Kepala Badan yang statusnya eselon I. Dan kedua status AKIP yang cenderung bias apakah
keberadaan AKIP mengarah pada pendidikan profesional ataukah hanya untuk memenuhi kebutuhan
dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Pemasyarakatan. untuk menjawab permasalahan
pertama maka sesuai prinsip manajemen yang baik hubungan pertanggungjawaban pekerjaan
seharusnya dilakukan dalam hierarki struktural terdekat. Dengan demikian Direktur AKIP yang eselon
III harusnya bertanggungjawab kepada eselon II diatasnya. Dalam struktur organisasi BPSDM ada
struktur “Pusat” yang dijabat oleh mereka yang berstatus eselon II. Dalam konsepsi ideal apabila
penataan ‘Pusat” di BPSDM dilakukan dengan pendekatan per/bidang maka akan ada yang disebut
“Pusat Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pemasyarakatan”, didalamnya
diselenggarakan pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk Prajabatan, diklat kepemimpinan, diklat
teknis, diklat fungsional dan satu lagi AKIP. Dengan sistem ini maka tanggungjawab Direktur AKIP
langsung ditujukan kepada Kepala Pusat yang eselon II dan masuk dalam satu genus yakni
Pemasyarakatan. Status kepegawaian di Pusat Pendidikan dan Pengembangan SDM Pemasyarakatan
tunduk pada status Kepagawaian di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tidak dibawah BPSDM,
sedangkan dukungan fasilitatif dan anggaran tetap dibawah BPSDM.
Untuk permasalahan mengenai keberadaan AKIP apakah mengarah pada pendidikan profesional
ataukah hanya untuk memenuhi kebutuhan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia
Pemasyarakatan seharusnya bisa dijawab. Bahwa jika AKIP ini menyelenggarakan pendidikan yang
profesional maka segala bentuk intervensi birokrasi kedinasan dikesampingkan. AKIP harus
menjalankan seluruh kegiatan mulai dari rekrutmen hingga pelaksanaan penyerahan kelulusan taruna
http://www.djpp.depkumham.go.id
secara mandiri. Untuk kondisi ini Struktur Organisasi dan Tata Kerja AKIP harus jelas. Kemandirian
AKIP untuk penyelenggaraan pendidikan yang profesional bebas dari intervensi birokrasi perlu dibuat
dalam satu pedoman atau petunjuk pelaksana penyelenggaraan pendidikan AKIP di Departemen
Hukum dan HAM. Dengan status ini maka kedudukan AKIP jelas, out put yang dihasilkan adalah
gelar akademis. Dengan demikian penyelenggaraan AKIP harus memperhatikan ketentuan yang diatur
oleh Pemerintah melalui Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS)
Kondisi yang kiranya menjadi perhatian dan cukup berpengaruh adalah status kelembagaan. Dalam
konteks penyelenggaraan pendidikan kedinasan nomenklatur “Akademi” sesungguhnya diarahkan
kepada proses penjaringan taruna bagi mereka yang tamat SMA dengan lama mengikuti proses
pendidikan selama 3 tahun dengan raihan gelar akademis setara D3. Saat ini sudah saatnya AKIP
dijadikan Sekolah Tinggi Ilmu Pemasyarakatan (sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Instansi
lain misalnya IPDN pada Departemen Dalam Negeri atau STAN pada Departemen Keuangan).
Dengan status tersebut mereka lulusan AKIP adalah setara S1 atau S2 artinya nomenklatur AKIP sudah
tidak menjadi “Akademi” melainkan berubah menjadi “Sekolah Tinggi Ilmu Pemasyarakatan” tentunya
konsekuensi dan tanggungjawab yang di emban menjadi sangat besar.
1.2. Saran Tindak
Peraturan Menteri Hukum Dan Ham R.I Nomor: M.09-PR.07.10 Tahun 2007 Tentang Organisasi Dan
Tata Kerja Departemen Hukum Dan HAM R.I perlu direvisi dengan usulan ada satu pasal yang
mengatur mengenai kedudukan AKIP dan hubungannya dengan BPSDM sehingga tidak seperti
sekarang ada strukturnya dalam Peraturan Menteri tetapi tidak ada ketentuan pengaturannya.
Sebagaimana uraian permasalahan diatas maka sebaiknya AKIP melalui BPSDM juga perlu
mengajukan konsep untuk merevisi Keputusan Menteri Kehakiman Nomor. M. 07-PR.07.04 Tahun
1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja AKIP. Dimana substansi pengaturan adalah AKIP
melaksanakan pendidikan kedinasan yang profesional dan Mandiri bebas dari intervensi Birokrasi lain.
Direktur AKIP bertanggungjawab langsung kepada Kepala Pusat Pendidikan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Pemasyarakatan yang eselon II jadi tidak bertanggungjawab langsung kepada
Kepala BPSDM.
Sebaiknya AKIP diselenggarakan secara profesional dengan capaian melahirkan gelar akademis
sebagai hasil dari pemberian pendidikan, artinya tidak ada lagi pegawai pemasyarakatan yang ingin
menggembangkan kemampuan teknis mengikuti pendidikan AKIP. Jika syarat lulusannya adalah untuk
S1 maka nomenklatur “Akademi” kiranya tidak sesuai lagi dengan teknis penyelenggaraannya
sehingga nomenklatur yang tepat adalah sebutan untuk “Sekolah Tinggi Ilmu Pemasyarakatan”. Oleh
karena itu sebaiknya konsistensi penyelenggaran dan pengembangan organisasi AKIP diarahkan
kepada tujuan untuk membentuk “Sekolah Tinggi” agar nuansa akademis lebih dirasakan dengan
capaian akhir secara umum adalah peningkatan strata pendidikan sumber daya manusia petugas
pemasyarakatan. Dengan status D3 penjurusan bagi taruna AKIP agak sulit untuk diterapkan. Namun
demikian apabila jika diarahkan untuk lulusan S1 maka penjurusan bisa dilakukan pada Tingkat III
penjurusan ini diusulkan sejalan dengan pengangkatan Taruna AKIP menjadi PNS dari sebelumnya
berstatus CPNS. Dengan sistem ini diharapkan penyelenggaraan dan pemanfaatan lulusan taruna AKIP
lebih efektif dan efisien.
Bila struktur organisasi BPSDM disusun dengan pendekatan bidang maka Status pembinaan karier
pegawai AKIP sebaiknya tunduk pada manajemen kepegawaian di BPSDM saja sebagai pembina
fungsi. Yang bertanggungjawab kepada SDM, anggaran dan kepegawaian sedangkan Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan bertanggungjawab sebagai pembina teknis hanya mengurus masalah
kurikulum dan usulan peserta diklat sehingga seharusnya jelas status kepegawain tenaga pengajar di
AKIP
http://www.djpp.depkumham.go.id
1.3. Indikator Keberhasilan
a. Adanya revisi Peraturan Menteri Hukum Dan Ham R.I Nomor: M.09-PR.07.10 Tahun 2007
Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Hukum Dan HAM R.I dengan usulan ada satu
pasal yang mengatur mengenai kedudukan AKIP dan hubungannya dengan BPSDM
b. Adanya revisi Keputusan Menteri Kehakiman Nomor. M. 07-PR.07.04 Tahun 1999 tentang
Organisasi dan Tata Kerja AKIP
c. AKIP dijadikan sekolah Tinggi Ilmu Pemasyarakatan (STIP) dengan rintisan gelar S1 dengan
standar yang sesuai dengan sistem pendidikan nasional
d. Adanya penjurusan taruna AKIP pada saat mencapai semester III yang sejalan dengan proses
pengangkatan taruna menjadi PNS
e. Pembinaan karier Pegawai AKIP sepenuhnya diserahkan kepada BPSDM sebagai Pembina
fungsi
2. Penyelenggaraan Rekrutmen Taruna AKIP
2.1. Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
Penerimaan taruna di AKIP dilaksanakan dengan sistem dua pintu yakni pintu pertama bagi mereka
yang bukan pegawai Departemen Hukum dan HAM atau yang berasal lulusan dari Sekolah Menengah
Umum atau sederajat (fresh graduate) dan pintu kedua yang berasal dari pegawai Departemen Hukum
dan HAM. Seleksi dilaksanakan oleh Panitia yang terdiri dari Panitia Pusat dan Panitia Wilayah.
Panitia Pusat diketuai oleh Kepala BPSDM. Wakil Ketua Sekretaris Direktur Jenderal
Pemasyarakatan, sedangkan Direktur AKIP bertugas sebagai sekretaris dibantu dengan anggotaanggota
sedangkan yang menjadi penasehat dalam Kepanitian tersebut adalah Sekretaris Jenderal
Departemen Hukum dan HAM. Panitia Wilayah terdiri dari Kepala Kantor Wilayah sebagai penasehat,
Kepala Divisi Administrasi sebagai Ketua Panitia, Kepala Bagian Umum sebagai sekretaris dibantu
dengan anggota-anggota termasuk Kepala Divisi Pemasyarakatan.
Status taruna yang dijadikan pegawai negeri sipil pada saat mengikuti pendidikan membuat ruh
akademis menjadi hilang. Apabila status taruna sudah menjadi pegawai maka intervensi birokratis
pada penyelenggaraan pendidikan sangat kental. Status AKIP sebagai lembaga yang
menyelenggarakan pendidikan tidak lagi mandiri. Seharusnya jika mengarah pada profesionalitas
maka rekrutmen harus diselenggarakan oleh AKIP sendiri tidak melibatkan unsur-unsur struktural
apalagi yang berkaitan dengan bidang kepegawaian dalam kepanitian.
Dalam hal rekrutmen taruna AKIP tetap menjadi kewenangan Sekjen maka AKIP melalui BPSDM
sebaiknya membuat suatu persyaratan-persyaratan khusus yang harus dipenuhi. Syarat khusus tersebut
digunakan oleh Sekjen untuk melakukan perekrutan taruna AKIP.
2.2. Saran Tindak
Dengan keinginan agar AKIP menyelenggarakan pendidikan yang profesional dan mandiri apalagi
diharapkan untuk menjadi Sekolah Tinggi maka dalam proses rekrutmen sebaiknya dilaksanakan oleh
AKIP sendiri bebas dari intervensi birokratis. Kepanitian rekrutmen seharusnya dari unsur AKIP saja
tidak berasal dari unsur lain. Hal lainnya adalah perlunya taruna yang masuk dalam AKIP sebaiknya
tidak berstatus pegawai negeri sipil. Setelah taruna tersebut lulus dari AKIP baru direkrut menjadi
pegawai negeri sipil yang penempatannya untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia di
pemasyarakatan. Namun ada pilihan lain yang ditawarkan, dimana status kepegawaian selama
mengikuti pendidikan dapat diberikan secara berjenjang dimana pada tingkat II dijadikan sebagai
Calon Pegawai dan pada tingkat III taruna AKIP baru diangkat menjadi pegawai. Selain itu ditingkat III
AKIP perlu ada penjurusan sesuai dengan jenis UPT yang ada di organisasi pemasyarakatan dengan
mekanime assessment berdasarkan parameter khusus. Hal ini dimaksudkan agar lulusan AKIP tidak
terkosentrasi di satu unit pelaksana teknis semata.
Dalam hal ini AKIP melalui BPSDM harus membuat pedoman penyelenggaraan pendidikan di AKIP
mulai dari sistem penerimaan taruna AKIP hingga sistem penggunaannya untuk Direktorat Jenderal
http://www.djpp.depkumham.go.id
Pemasyarakatan. Pedoman ini sebaiknya diperkuat dengan adanya Peraturan Menteri tentang
kemandirian AKIP untuk menyelenggarakan proses seleksi untuk taruna AKIP termasuk didalamnya
merubah status PNS taruna menjadi taruna/mahasiswa biasa. Dengan kondisi ini tentunya AKIP harus
memperhatikan dan menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan tentang sistem pendidikan nasional.
Dalam hal pelaksanaan rekrutmen taruna AKIP tetap menjadi kewenangan Sekjen Departemen maka
perlu dipersiapkan persyaratan khusus yang diajukan oleh AKIP melalui BPSDM. Persyaratan khusus
dalam penerimanaan taruna ini berkaitan dengan kebutuhan akan pemenuhan kualitas sumber daya
manusia bagi Pemasyarakatan
2.3. Indikator Keberhasilan
a. Rekrutmen taruna AKIP dilaksanakan secara mandiri oleh AKIP tidak lagi oleh Sekjen
yang dilakukan bersamaan dengan penerimaan pegawai.
b. Adanya pengajuan persyaratan khusus pada tahapan rekrutmen taruna AKIP dimana
persyaratan khusus disusun oleh AKIP melalui BPSDM kemudian disampaikan kepada
Sekjen Departemen.Adanya Peraturan Menteri Hukum dan HAM yang mengatur mengenai
kemandirian dan profesionalitas penyelenggaraan Pendidikan di AKIP.
c. Adanya Peraturan Menteri Hukum dan HAM yang mengatur mengenai kemandirian dan
profesionalitas penyelenggaraan Pendidikan di AKIP
E. Tunjangan Fungsional Petugas Pemasyarakatan
Struktur gaji Pegawai pegawai negeri sipil diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2007
tentang Penyesuaian Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil menurut Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun
2005 ke Dalam Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2007
tentang Perubahan Kesembilan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1977 tentang Peraturan Gaji
Pegawai Negeri Sipil. Selain gaji pemerintah juga memberikan tunjangan. Pada umumnya klasifikasi
tunjangan dapat dibagi menjadi empat jenis (Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006),
yakni:
- Tunjangan Jabatan Struktural yakni tunjangan jabatan yang diberikan kepada pegawai negeri
sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam jabatan struktural sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
- Tunjangan Jabatan Fungsional yakni tunjangan jabatan yang diberikan kepada pegawai negeri
sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam jabatan fungsional sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan
- Tunjangan yang dipersamakan dengan tunjangan jabatan adalah Tunjangan Tenaga
Kependidikan, Tunjangan Jabatan Anggota dan Sekretaris Pengganti Mahkamah Pelayaran,
Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Tertentu yang Ditugaskan pada Badan Pemeriksa Keuangan,
Tunjangan Hakim, Tunjangan Panitera, Tunjangan Jurusita dan Jurusita Pengganti, Tunjangan
Pengamat Gunung api bagi Pegawai Negeri Sipil Golongan I dan II, dan tunjangan jabatan lain
yang diberikan kepada, Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dalam jabatan tertentu berdasarkan
peraturan perundang-undangan
- Tunjangan Umum yakni tunjangan yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang tidak
menerima tunjangan jabatan struktural, tunjangan jabatan fungsional, atau tunjangan yang
dipersamakan dengan tunjangan jabatan.
1. Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
Struktur gaji pegawai Departemen Hukum dan HAM pada umumnya dan petugas pemasyarakatan pada
khususnya, mengacu kepada standar umum gaji pegawai negeri sipil yang diatur berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2007 tentang Penyesuaian Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2005 ke Dalam Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2007 tentang Perubahan Kesembilan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 7 tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan mengenai
http://www.djpp.depkumham.go.id
tunjangan tunduk pada Peraturan Presiden Nomor 21 tahun 2006 tanggal 26 Mei 2006 tentang
Tunjangan Petugas Pemasyarakatan. Oleh sebab pengaturan gaji pegawai negeri diterapkan secara
standard dan berlaku untuk pegawai negeri sipil di seluruh Indonesia dan merupakan kebijakan umum
pemerintah maka kiranya tidak ada permasalahan sehingga tidak dibahas dalam blue print ini. Akan
tetapi mengenai tunjangan petugas pemasyarakatan kiranya perlu ditinjau lagi secara mendalam.
Dalam butir menimbang Peraturan Presiden Nomor 21 tahun 2006 tanggal 26 Mei 2006 tentang
Tunjangan Petugas Pemasyarakatan disebutkan:
a. bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, petugas pemasyarakatan
merupakan jabatan fungsional;
b. bahwa pegawai negeri sipil yang diangkat dan ditugaskan sebagai petugas pemasyarakatan,
perlu diberikan tunjangan sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawab pekerjaannya;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut pada huruf a dan huruf b dan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas kerja pegawai negeri sipil yang bersangkutan
serta sambil menunggu ditatanya jabatan fungsionalnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, dipandang perlu mengatur tunjangan petugas pemasyarakatan dengan
peraturan presiden.
Besarnya tunjangan bagi Petugas Pemasyarakatan menurut Peraturan Presiden Nomor 21 tahun 2006
adalah sebagai berikut :
NO JABATAN GOLONGAN BESARNYATUNJANGAN
1. Petugas Pemasyarakatan IV Rp. 210.000,00
2. Petugas Pemasyarakatan III Rp. 200,000,00
3. Petugas Pemasyarakatan II Rp. 190.000,00
4. Petugas Pemasyarakatan I Rp. 180.000,00
Permasalahannya apakah tunjangan yang diberikan oleh pemerintah termasuk dalam klasifikasi jabatan
fungsional atau bukan? Meskipun pemerintah mengakui bahwa petugas Pemasyarakatan merupakan
jabatan fungsional sebagaimana dalam diktum menimbang huruf (a) Peraturan Presiden Nonor 21
tahun 2006, namun diktum menimbang huruf (c) justru mengindikasikan bahwa tunjangan yang
diberikan kepada petugas pemasyarakatan belum masuk dalam klasifikasi besaran tunjangan yang
diberikan kepada jabatan fungsional. Pemerintah masih menunggu diaturnya kriteria jabatan
fungsional petugas pemasyarakatan. Apabila status jabatan fungsional tersebut sudah ditetapkan secara
jelas sesuai ketentuan yang di maksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang
Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil dan Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang
Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, maka sudah tentu Tunjangan Jabatan Fungsional
bagi petugas pemasyarakatan akan disesuaikan dengan klasifikasi jabatannya. Terlihat Klasifikasi
tunjangan yang diberikan pemerintah kepada petugas pemasyarakatan saat ini adalah “Tunjangan Yang
Dipersamakan Dengan Tunjangan Jabatan” sebagaimana di maksud dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Tunjangan Umum Bagi Pegawai Negeri Sipil. Oleh karena
itu nomenklatur dalam Peraturan Presiden nomor 21 tahun 2006 disebutkan sebagai “Tunjangan
Petugas Pemasyarakatan” bukan “Tunjangan Jabatan Fungsional Petugas Pemasyarakatan”.
2. Saran Tindak
Berdasarkan kondisi empiris tersebut maka secepatnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan membuat:
a) Analisis jabatan dan deskripsi jabatan fungsional petugas Pemasyarakatan
b) Angka Kredit jabatan fungsional penegak hukum petugas Pemasyarakatan.
c) Standar jenjang jabatan fungsional penegak hukum petugas Pemasyarakatan
d) Pedoman penyusunan tunjangan fungsional petugas Pemasyarakatan
Rancangan tersebut kemudian diberikan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
http://www.djpp.depkumham.go.id
(Menpan) melalui Menteri Hukum dan HAM. Dengan bahan tersebut dapat diajukan perubahan
besaran tunjangan bagi petugas Pemasyarakatan kepada Pemerintah agar disesuaikan dengan
klasifikasi jabatan fungsional petugas Pemasyarakatan sehingga tidak lagi berdasarkan tunjangan yang
dipersamakan dengan tunjangan jabatan sebagaimana yang berlaku saat ini.
3. Indikator Keberhasilan
a. Adanya draft yang diajukan ke Menpan sebagai bahan ditetapkannya petugas pemasyarakatan
sebagai jabatan fungsional yang meliputi
- Analisis jabatan dan deskripsi jabatan fungsional petugas Pemasyarakatan
- Angka Kredit jabatan fungsional penegak hukum petugas Pemasyarakatan
- Standar jenjang jabatan fungsional penegak hukum petugas Pemasyarakatan
- Pedoman penyusunan tunjangan fungsional petugas Pemasyarakatan
b. Adanya Peraturan Presiden yang mengatur mengenai Tunjangan Jabatan Fungsional Petugas
Pemasyarakatan sebagai pengganti Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2006 tentang
Tunjangan Petugas Pemasyarakatan

1 komentar: